Guru, Endgame Gita Wiryawan
Fahrus Zaman Fadhly*
“What is your endgame?”, tanya Putri Indahsari Tanjung pada Gita Wiryawan (GW). “Guru!”, jawab GW dengan mantap di podcast putri pengusaha nasional, Chairil Tanjung di kanal youtube. “Guru… asli, I found my sweet spot. Spot manis saya tuh, kalau ada di kelas, ngajar, ngomong tuh udah gak tahu gimana, saya (merasa) berada di planet yang berbeda. Rasanya tuh beda gitu lho,” ungkap GW, Menteri Perdagangan di Kabinet Indonesia Bersatu II, era Presiden SBY. Pertanyaan “Apa endgame Anda?” menjadi ciri dari podcast GW di youtube kepada para tamunya di fragmen terakhir. Kali ini, Putri Tanjung menanyakan hal yang serupa kepada GW. Istilah endgame sendiri diinspirasi oleh film superhero produksi Marvel Studios, AS.
GW mengaku, dulu sweet spot-nya ia rasakan saat aktif sebagai musisi. Namun, di sepanjang karirnya sebagai bankir atau pengusaha, menjadi guru adalah pilihan terakhir yang menyenangkan dan membahagiakan. Mengapa? Karena saat mengajar, GW merasakan ekstase kebahagiaan yang melampaui segala yang berbau materi. Menjadi guru memberi kesempatan kepadanya untuk berbagi pengetahuan dan menyusun narasi bagi bangsa dan negara ke depan. Menjadi guru adalah ultimate journey dari ekspedisi lintas profesi yang dilaluinya. Tercatat, GM pernah menapaki karir di Citibank, Goldman Sachs, ST Telekomunikasi, Singapura, JP Morgan Indonesia, Telekom Malaysia International, Pertamina, Ancora Capital, Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), Menteri Perdagangan, hingga sebagai Ketua PBSI.
Banyak anak muda mengidolakannya. Ia jadi panutan bagi banyak anak muda milenial yang banyak mencari inpirasi lewat kanal youtube. Podcast Endgame-nya banyak digemari. Ratusan ribu viewers yang menyapa dan mengagumi podcast-nya. Yang amat memesona, saat ia diwawancarai Charlie Rose, di studio televisi Bloomberg, New York, yang kemudian ditayangkan 1 Maret 2011 di PBS. Bahasa Inggrisnya yang amat fasih bak native speaker, santun, dan gaya bicaranya yang elegan memesona banyak viewers. Saya sendiri baru dua minggu terakhir menyimak podcast-nya. Saya pun melamun, setelah Gita mengungkap endgame-nya adalah guru, akan banyak anak-anak dengan talenta hebat yang terinspirasi menjadi guru. Mereka akan tertarik kuliah di LPTK-LPTK dan berduyun-duyun mendaftar ke FKIP-FKIP menjadi pahlawan “dengan tanda jasa!”.
Sebagai alumni lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) dan pengajar di Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan (FKIP), saya terhenyak dengan jawaban GW itu. Menjadi guru adalah “permainan terakhir” dari episode perjalanan karirnya. Sebelum menjadi menteri dan mengikuti konvensi capres Partai Demokrat, ia sudah malang-melintang di berbagai profesi baik sebagai bankir maupun sebagai pengusaha. Termasuk ia pernah menjadi pelayan restoran dan pemain piano di Amerika Serikat agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan studi S1-nya di University of Texas dan S2-nya di Baylor University dan Harvard University, AS.
Bagi GW, pendidikan itu adalah paling penting untuk dilakukan jika suatu bangsa ingin melakukan transformasi. Pendidikan itu investasi jangka panjang bagi pengembangan SDM Indonesia dan mesti dilakukan dengan sangat serius. Hanya saja, ia menyayangkan pendidikan di Indonesia yang terlalu mahal, jika dibandingkan dengan benefit yang akan diraih setelah lulus. Dibanding 30-40 tahun lalu, menurut GW, pendidikan di Indonesia jauh lebih murah dan bisa diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. Tak peduli dari anak-anak dari orang tua miskin atau kaya, semua bisa menikmati pendidikan.
Endgame sebagai guru rupanya bukan hanya impian seorang GW, tetapi menjadi bagian dari perjalanan hidup para tokoh bangsa. Tercatat dalam sejarah, tokoh seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Jenderal Soedirman, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Ki Hadjar Dewantara, Natsir, HAMKA, Cut Mutia, Dewi Sartika dan deretan para founding fathers kita adalah seorang guru. Demikian pula, tokoh sekaliber Barrack Obama, Lady Diana, penulis fenomal JK Rowling, aktor Sylvester Stallone pernah menjadi guru. Brian May dan Sheryl Crow, dan Sting “Gordon Sumner” adalah nama-nama musisi beken yang sebelumnya berprofesi sebagai guru. Artinya profesi guru, selain endgame juga stepping stone untuk menjadi orang besar.
Yang menjadi renungan dari fenomena GW ini, yang dibutuhkan murid di masa kini dan masa depan, bukan lagi perkara transfer pengetahuan dan skills tapi anak-anak bangsa ini juga butuh inspirasi yang mengubah pandangan dunianya. Apalagi, fungsi sebagai pentransfer pengetahuan saat ini telah diambil alih oleh google dan youtube sebagai penyedia konten. Fungsi kedua itulah yang harus menjadi trend guru-guru di Indonesia yakni yang menginspirasi (inspiring teachers).
Harapannya, kelak lahir guru-guru di Indonesia yang meraih “Global Teacher Prize” seperti Ranjitsinh Disale, guru di sebuah desa di India, yang berhasil mengubah kesempatan hidup gadis-gadis muda di Sekolah Dasar Zilla Parishad, Paritewadi, Solapur, Maharashtra, India. Mudah-mudahan minat generasi millenial di Indonesia menjadi guru akan terus meningkat. Saya optimis, guru akan menjadi profesi yang diimpikan oleh sumber daya insani terbaik bangsa ini. Karena menjadi guru, membuat dirinya bahagia dan membahagiakan orang lain atau menjadi suatu fundasi profesi yang menjadikannya tokoh besar.***
*Alumni UPI-UNJ & Staf Pengajar FKIP Universitas Kuningan