Berita TerkiniHeadline

Catatan Kritis atas UU Cipta Kerja sektor Migas

Kebijakan Umum

Tujuan Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi, sehingga untuk mendukung Cipta Kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;

Bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan Cipta Kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;

Upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektoral yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan Cipta Kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu UndangUndang secara komprehensif;

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi;

Catatan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2001

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:

  1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
  3. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMKM; dan
  4. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi

Penggunaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;

Catatan:
Tap ini masuk dalam kategori Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003, yaitu: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

Pada angka 11. Menetapkan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.

Catatan Pasal Perpasal

Pasal 4 UU Cipta Kerja ayat (3): Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.

UU Migas dalam Pasal 4 ayat (3): Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.

Catatan:
Sesuai dengan Putusan MK yang menghapuskan Badan Pelaksana.

Pasal 5

UU Cipta Kerja (1): Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Catatan:
Tidak memberikan kepastian menegnai siapa yang mempunyai kewenangan dalam memberikan izin di hulu, termasuk bentuk Kontrak yang selama ini ada. Apakah presiden, menteri atau delegasikan ke Badan khusus.

Pasal 23

UU Cipta Kerja ayat (3): Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukan kegiatan usahanya.

UU Cipta Kerja ayat (4): Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

UU Migas ayat (3): Setiap Badan Usaha diberi lebih dari 1 (satu) izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Catatan:

  1. UU CK masih membuka peluang badan usaha mendapatkan banyak izin usaha sesuai dengan kegiatan usaha (Akta PT) jadi dapat saja suatu usaha melakukan semua kegiatan di Migas, akan memudahkan bagi pengusaha untuk membuka kegiatan usaha lebih banyak.
  2. Sistem IT menjadi kewajiban, akan mengurangi potensi KKN, dan meningkatkan kecepatan proses perizinan.

Pasal 23A UU Cipta Kerja

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif berupa penghentian usaha dan/atau kegiatan, denda, dan/atau paksaan pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Catatan:
Belum terlihat klasifikasi sanksi administratif ringan, sedang, berat, sangat berat. Seharusnya diatur dalam UU karena terkait dengan aspek membatasi individu atau badan hukum

Pasal 25 ayat (1) UU Cipta Kerja. Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap:

  1. pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha;
  2. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 25 ayat (2), Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UU Migas dalam Pasal 25 ayat (1), Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertuIis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan, atau mencabut 1zin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan:

  1. pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin Usaha;
  2. pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
  3. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 25 ayat (2), Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.

Catatan:

  1. Pengulangan pelanggaran tidak ada lagi. Disamakan antara pelaku yang baru sekali melakukan pelanggaran dengan pelaku yang berulangkali melakukan pelanggaran.
  2. Tidak ada lagi kesempatan bagi pemilik izin usaha untuk meniadakan pelanggaran/pemenuhan persyaratan, akibatnya apabila melakukan pelanggaran akan lansung di tindak. Baik untuk ekosistem Usaha.

Pasal 46 UU Cipta Kerja

Dalam UU CK terdapat penambahan ayat (5) Badan Pengatur dalam pengaturan dan penetapan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib mendapatkan persetujuan Menteri.

Catatan:
Sebaiknya kewenangan diberikan saja ke menteri untuk menetapkan tarif berdasarkan masukan Badan Pengatur, pengaturan ini menambah birokrasi, dan tidak efektif.

Pasal 52 UU Cipta Kerja

Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Adapun dalam UU Migas mengatur Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Catatan.
Penalisasi Perizinan Berusaha tidak melihat besar kecilnya bentuk usaha, generalisasi pidana 6 tahun tidak sesuai dengan perbedaan pelanggaran atau jenis pelanggaran, sehingga menyamakan usaha kecil dan usaha besar.

Pasal 53 UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja, Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Merubah total pasal dalam UU Migas.

Sementara dalam UU Migas, mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan:

a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Catatan:
Bertentangan dengan ancaman pidana dalam undang undang lain seperti UU Lingkungan Hidup, yang menggunakan ancaman minimum dan maksimum (karena pidana berat), perbedaan ancaman pidana dapat menjadi peluang potensi abuse dalam praktik penegakan hukum di lapangan

Pasal 55 UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja, Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

UU Migas mengatakan, Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Catatan:
Penyempurnaan ancaman pidana bukan hanya terkait minyak tetapi juga terkait dengan gas.

 

Catatan terkait Putusan MK

MK telah mengabulkan 12 pasal dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, yang diajukan melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 dan No. 36/PUU-X/2012, yaitu:

  1. Pasal 1 angka 23,
  2. Pasal 4 ayat (3),
  3. Pasal 41 ayat (2),
  4. Pasal 44,
  5. Pasal 45,
  6. Pasal 48 (1),
  7. Pasal 59 huruf a,
  8. Pasal 61, dan
  9. Pasal 63.
  10. Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”;
  11. Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”;
  12. Pasal 28 ayat (2) dan (3)

Yang dilakukan perubahan hanya pada Pasal 4 ayat (3) terkait dengan Badan Pelaksana, padahal dalam Pasal 1 angka 23 terkait Badan Pelaksana tidak dihapus, begitupun dengan pasal pasal lain. Sehingga UU Cipta Kerja belum melaksanakan Putusan MK.

Kesimpulan

  1. Penataan terkait sektor Migas belum dilakukan hingga pada tata kelola yang lebih komprehensif. Belum memberikan arah yang jelas, seperti siapa pemberi izin migas, bagaimana kontrak apakah masih diberlakukan, bagaimana peluang usaha kecil belum terlihat dalam penataan ini.
  2. Salah satu yang ingin didorong adalah mendorong koperasi, kebijakan tersebut belum terlihat dalam pengaturannya.
  3. Masih terdapat tumpang tindih pengaturan seperti di ancaman pidana.
  4. Kewajiban penggunaan IT baik untuk mendorong sistem perizinan yang efektif dan bebas KKN.
  5. (pushep)
Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button