Salim Said dan Islam
Oleh: Fathorrahman Fadli
Siapa bilang Salim Said itu tidak punya konsern pada Islam, Umat Islam dan pemikiran Islam. Menurut saya yang terlibat diskusi 10 tahunan bersama beliau di Institut Peradaban yang didirikannya bersama Bang Jimly Assiddiqie atau belakangan saya tulis dengan Prof.JA itu tidak benar.
Salim ternyata memiliki konsern yang mendalam tentang Islam. Terutama, Islam dalam kaitannya dengan peran dan artikulasinya dalam negara.
Sebab Salim Said memang bukan seorang pendakwah yang ceramahnya berceceran dimana-mana, namun tidak menyentuh akar persoalan umat yang menyedihkan; kebodohan, kemiskinan, dan keterpinggiran secara politik.
Saya sebagai muridnya, yang dengan cermat mengikuti perkembangan dan dinamika pemikirannya tentang banyak hal mulai politik, budaya, film, Islam yang dibawa Muhammad, soal orang Arab yang belum menyatu dengan Indonesia, dan aneka lelucon diseputar Kenakalan Bung Karno sebagai Play Boy Cap Kopi. Kata-kata belakangan itu hanya sebagai penyegar kami saat diskusi yang berat-berat bersama Ichan (Muhammad Ichsan Loulembah).
Kami bertiga kadang terlibat diskusi yang sangat sensitif tentang Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Rasulullah. Tentu saja jika didengar orang awam akan melahirkan kemarahan yang besar. Kami bertiga, Salim, Ichan dan saya memang berjenis kelamin sama, laki-laki berlatar belakang jurnalis, meski berbeda rasa. Salim terbiasa melakukan kerja-kerja jurnalistik dengan melakukan serentetan interview mendalam atas informasi-informasi yang bertalian satu sama yang lain. Kerja Salim ini lebih dekat pada kerja-kerja seorang intelijen profesional yang merangkai satu kegiatan atau peristiwa satu dengan yang lain. Untuk kemudian ia memberi makna secara presisi sebagai kesimpulan.
Dalam konteks itu, kepada Ichan Loulembah ia bilang, Chan, Oong ini termasuk orang yang ahli kontra intelijen. Saya sendiri hanya nyengir, dan mengabaikan apa yang meluncur dari mulutnya yang tajam itu. Saat itu Ichan tertawa sambil memejamkan matanya. Sementara Ichan, juga seorang jurnalis yang lebih dekat dengan kegiatan keradioan. Ichan jago sekali kalau bicara radio dan urusan penyiaran publik.
Oleh karena itu ia sering membuat kegiatan jurnalistik berbasis radio atau kalau saya sederhanakan mik atau microphone. Ichan jangan dikasih miks, sebab kalau miks sudah ditangannya bisa lama..hahhaha. Ia mirip atau paling tidak menyerupai Larry King di Amerika. Saya pribadi menyebut Ichan, Larry King Indonesia atau Mister Mic. Sementara saya jurnalis kantor berita LKBN Antara yang terbiasa menulis cepat atas peristiwa untuk segera dikonsumsi oleh publik secara luas.
Namun sebagai jurnalis kami berwatak sama, keras, independen, .dan risih menjadi anak buah siapapun. Sebab menjadi anak buah itu menyebabkan kita tidak bisa berfikir bebas merdeka. Terkungkung oleh kepentingan jangka pendek, apalagi pikiran jurnalis itu jangka panjang; mengabdi pada kebenaran dan keadilan agar tercipta kebajikan, kemaslahatan publik secara luas. Oleh karena itu, soal rejeki, kami rasakan cukup dengan apa adanya.
Kami bertiga merasa cocok dalam berdiskusi dan berdebat, terutama ketika kebetulan saya, Ichan dan Salim datang lebih awal dari teman-teman anggota diskusi yang lain. Sering sekali Salim bertanya, “Mana Zaki Ong.”
“Oh…dia lagi ke Penang, Prof, ketemu pembimbing, katanya.”
Zaki adalah sahabat saya, dosen UIN dan aktivis PMII.
Zaki Mubarak adalah anggota diskusi Institut Peradaban yang sangat aktif dan lebih awal beberapa bulan dari saya. Ia dibawa oleh Profesor Bahtiar Efendi bergabung ke Institut Peradaban. Bersamaan dengan Zaki, ada juga Alfan Alfian, penulis dan dosen yang sangat produktif menulis. Namun belakangan, Alfan jarang datang karena di Hari Rabu memiliki kegiatan lain yang lebih menghasilkan. Sedangkan saya, Zaki, dan Ichan tetap istiqomah mengikuti diskusi-diskusi seru di lembaga yang selalu di datangi tokoh-tokoh penting di tanah air kita.
Suatu ketika, kami kedatangan Hamid Basyaib, wartawan senior, penulis, dan penterjemah buku. Kami diskusi ngalor ngidul. Hamid melihat-lihat suasana ruang diskusi yang tidak nampak pada dinding-dindingnya kemewahan selain buku-buku. Ia dengan gayanya yang khas meledek saya dan Ichan.
“Adduh….aku heran sama Ichan dan Oong ini….kalian cari apa di sini sih….heran gua. Duit kagak ada, cuma dengerin orang-orang tua bernostalgia,” cibirnya.
Ichan dan saya hanya tertawa lebar dan menganggap ocehan Hamid itu sekadar candaan tak penting belaka. Sejenak kemudian mata Ichan melirik saya, seraya berkata, “Hamid itu tidak tahu Ong, bahwa kita ini sedang menemani seorang tokoh besar, Salim itu tokoh besar Ong, Hamid itu tak paham,” kata Ichan meyakinkan saya.
Salim dan Islam
Kembali pada anggapan banyak pihak bahwa Salim Said tidak banyak perhatiannya pada Islam itu adalah sesuatu yang keliru. Salim seringkali mengeluhkan kondisi dan keadaan Umat Islam di Indonesia ini. Miskin, bodoh, mudah diadu domba, gampang diprovokasi, dan peradabannya masih rendah.
Menurut Salim Said, peradaban yang masih rendah itu disebabkan karena rendahnya taraf pendidikan dan taraf ekonomi umat. Pada taraf kehidupan yang seperti itu tidak mungkin mereka disuruh untuk berdemokrasi. Mereka akan mudah dimobilisir dengan kekuatan uang dikarenakan mereka butuh uang.
Ideologi Islam yang mereka yakini sebagai jalan hidup itu dengan mudah di interupsi oleh kebutuhan yang nyata sehari-hari. Melihat kondisi itu Salim Said tentu sangat sedih. Dan kesedihan itu selalu menggelayut dalam pikirab untuk memproduksi ide-ide yang progresif dalam politik. Sebab dalam keyakinan Salim Said, yang dapat mengubah keadaan buruk menjadi baik secara dramatis—- hanya efektif ditempuh dengan politik kekuasaan. Dengan kekuasaan kita dapat mengubah keadaan hanya dengan secarik kertas.