Konsep Komunikasi dan Sosialisasi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Oleh Sudrajat
Tenaga Ahli Sosialisasi Oversight Consultant (OC)-6 Jawa Barat Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)
Landasan Konsep
Mengenali kembali konsepsi komunikasi dan sosialisasi dalam pemberdayaan masyarakat amatlah strategis dan penting. Karena konsep dan pendekatan komunikasi serta sosialisasi dalam penyampaian pesan (message) yang tepat akan turut andil memberi warna dan daya dorong terwujudnya arah transformasi atau perubahan sosial di masyarakat yang diharapkan dalam mencapai tujuan bersama.
Kita tahu, bahwa proses memberdayakan masyarakat (strengthening) bukanlah tindakan sekejap untuk mewujudkannya. Butuh langkah yang konsisten dan panjang. Pun, untuk sampai pada tujuan itu diperlukan kerangka konsep yang matang, tepat dan terencana sesuai dengan konteks dan kebutuhan.
Dalam dunia komunikasi dan sosialisasi banyak nama besar disana, sebut saja, Julia T. Wood, Stephen W. Littlejohn, Karen Foss, Stanley J Baran, Dennis K. Davis hingga Harold Dwight Lasswell (1902–1978). Sumbangsih pemikiran mereka para ahli telah turut mewarnai di berbagai bidang, baik bidang pengajaran, penelitian bahkan bisnis.
Namun dari sederet nama besar pemikir teori komunikasi tadi, satu diantaranya yang dominan mewarnai adalah Harold Dwight Lasswell (1902–1978), sang ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat sekaligus seorang pencetus teori komunikasi.
Harold sang Profesor di Chicago School of Sociology, Yale University ini, dalam bidang teori komunikasi dan sosialisasi, mendasarkan pada lima pertanyaan yang perlu ditanyakan dan dijawab dalam melihat proses komunikasi yaitu, who (siapa), says what (apa yang dikatakan), in which channel (saluran komunikasi), to whom (kepada siapa), with what effect (unsur pengaruh). (Sendjaja, 2014)
Sebagai landasan teoritis, tak diragukan lagi bahwa teori komunikasi Harold walau masih bersifat linear ini penting, layak menjadi bekal dalam merumuskan strategi fasilitasi komunikasi dan sosialisasi. Namun, dalam penerapannya, strategi komunikasi dan sosialisasi program pemberdayaan yang begitu dinamis perlu diperkuat dengan pendekatan lainnya.
Mengapa demikian? Dalam program pemberdayaan masyarakat, kegiatan komunikasi dan sosialisasi tak sebatas pada terjadinya transfer pengetahuan di level kognitif, “dari tak tahu menjadi tahu”, “dari tak faham menjadi faham”, namun lebih dari itu adalah menyangkut aspek afeksi (perasaan) dan konasi (tindakan).
Karenanya pada akhir kegiatan ini, menuntut adanya indikator perubahan perilaku yaitu, dari faham atau mengerti, menjadi “meyakini” hingga sampai pada “terdorong untuk melakukan aksi”.
Untuk mencapai hasil (resultant) tersebut, pendekatan komunikasi dan sosiaslisasi, perlu memberikan ruang imajinasi yang luas, agar hubungan antara pemberi pesan (communicator) dan penerima pesan (communicant) dalam prosesnya berlangsung secara sirkular (timbal balik). Kegiatan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat tidak dapat disederhanakan seperti “mengisi gelas kosong” yang dapat diisi sekehendak kita. Karena hakekatnya masyarakat sudah memiliki pengetahuan sendiri yang mereka dapatkan dari pengalaman mereka.
Bahkan agar interaksi komunikasi dan sosialisasi berlangsung hangat dan emansipatoris, sang pemberi pesan (communicator) perlu bersikap asertif (baca: kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain, namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain).
Pendek kata, kegiatan komunikasi dan sosialisasi dalam program pemberdayaan masyarakat harus memiliki muatan sebagai “daur pengetahuan” dalam membangun nalar kritis yang dapat “merangsang” masyarakat terlibat secara sadar dan aktif ke dalam program yang akan dilakukan. Maka tak dapat dihindarkan rangkaian proses ini harus dikemas dalam formula komunikasi, informasi dan edukasi yang utuh yang diletakkan pada landasan kejujuran dan saling percaya (trusted).
Esensi Komunikasi-Sosialisasi dan Participation Continuum
Karena pada hakekatnya tujuan komunikasi dan sosialisasi adalah menumbuhkan “partisipasi publik/ masyarakat sebagai ciri masyarakat berdaya”, maka tugas para komunikator dalam “menenun” mata rantai partisipasi (participation continuum) tak dapat dilepaskan dari tahapan berikut ini:
Pertama, sharing information, yakni melakukan penyebarluasan informasi secara luas (massive) dan efektif melalui berbagai saluran media informasi, seperti workshop, pertemuan warga, penulisan berita di media cetak (koran), baliho, leaflet, brosur, penyiaran televisi/radio, media sosial (medsos), sehingga masyarakat luas mengenali dengan baik dan utuh pesan yang disampaikan.
Kedua, consultation, melakukan fasilitasi dan asistensi dalam rangka membangun media konsultasi antar pihak untuk meminimalisir defiasi informasi;
Ketiga, collaboration, mendorong terciptanya suasana kerjasama saling menguatkan dalam bentuk kolaborasi antar pihak secara kritis dan dinamis, untuk menumbuhkan kesadaran baru saling mendukung dalam pencapaian tujuan, dan Keempat, empowerment, memastikan kemandirian para pihak (masyarakat, pemerintah dan swasta) sebagai modal sosial (social capital) dalam pencapaian tujuan. Semoga.***