Berita TerkiniKolomSarapan Pagi

China dan Tantangan Regional Indonesia

Oleh: Syaiful Bahri Ruray

“Didunia ini tak bisa ditemukan orang yang lebih kaya daripada orang China.”

(Ibnu Batutah, Musafir Maroko abad ke-14).

Hampir setiap hari melalui berbagai media, kita menyaksikan berita tentang China, baik itu tentang pandemi hingga ekspansi ke Laut China Selatan dan investasinya yang merambah ke berbagai penjuru dunia saat ini. Nyaris tiada hari yang dapat kita lewatkan tanda berita tentang China. Mulai dari kurang efektifnya vaksin made in China hingga lalu lalang perangkat militernya, yang kini berhadapan dengan kekuatan laut Armada ke-7 Amerika Serikat dan sekutunya di Pasifik.

Sejak lama China telah mengglobal terhitung era Dinasti Tang (618-690 dan 705-907), yang memperkenalkan konsep kekaisaran tengah (zhongguo), dimana negeri Tionghoa dianggap sebagai pusarnya bumi. Kepulauan Maluku dikenal sebagai The Spices Islands, juga karena kehadiran pelaut dan pedagang China yang memperkenalkan cengkih dan pala ke manca negara, jauh sebelum kelahiran Kristus. Sejarah nusantara dan duniapun, tak dapat terlepas dari eksistensi bangsa China. Bahkan penulis Inggris Gavin Menzies (lihat: Who Discovered America? The Untold History of the Peopling of the Americas, 2013) menyatakan bahwa benua Amerika telah ditemukan oleh Cheng Ho, jauh sebelum Christopher Colombus mendarat pada 12 Oktober 1492 tersebut. Karena peta kuno yang dibuat Cheng Ho pada 1418, telah demikian lengkap menggambarkan dunia baru tersebut pada berbagai sisinya.

Jadi pelaut China telah mendahului Colombus 70 tahun sebelumnya. Dan Cheng Ho telah berlayar 100 tahun sebelum Ferdinand Magellan berlayar mencari jalan ke Tidore dan Ternate. Menzies bahkan menyebutkan bahwa DNA penduduk Indian Amerika dan pribumi lainnya adalah keturunan para pemukim Asia.

Kita di nusantara pun tak luput dari pengaruh China dalam berbagai aspeknya, bahkan seorang penulis Weliam H. Boseke, dari Manado telah meneliti keterkaitan sub-etnik Minahasa di Sulawesi Utara dengan bangsa Han. Boseke menelusuri asal-usul kata dan nama marga seperti Ratulangi (rao tu lang yi), Kawilarang (kai hu la ran), Lasut (la shu de), Sumual (shu mou au le), Sumendap (shu men dao pe), Sumakut (shu mou gu de), Lumintang (lu mon tang), Sarundayang (sha ru en dao yang).

Mungkin antropolog senior Sulawesi Utara seperti Alex John Ulaen, atau budayawan Reiner Emyot Ointoe, bisa menjelaskan panjang lebar keterkaitan ini lebih detil. Prof. Slamet Mulyana pun pernah mengembangkan sejarah masuknya Islam ke nusantara, adalah berasal dari jalur China. Hal ini sekaligus membantah teori Gujarat yang dikembangkan Snouck Hurgronje.

Karena perbedaan madzhab dan tradisi Islam Gujarat dengan Nusantara. Prof. Abubakar Atjeh dan Buya HAMKA pun membantah teori Gujarat tersebut. Bahkan menurut mereka, Islam nusantara berkembang melalui jalur sutera kuno, yang telah terbentuk jauh sebelum datangnya Islam itu sendiri, dimana relasi perdagangan rempah-rempah nusantara, terutama kapur barus dan lada di Sumatera, serta cengkih dan pala dari Maluku, telah melanglang buana hingga mencapai pelabuhan Venesia, Italia dan Alexandria, Mesir. Mummi Fir’aun, para raja Mesir menggunakan rempah-rempah nusantara. Bahkan Joanna Hall Brierley, menyebutkan buku masakan pertama era Romawi pada era Kaisar Agustus (1500 SM), telah menggunakan rempah-rempah Nusantara sebagai

resep masakannya. Juga penggalian arkeologis pada 1988 di kawasan Mesopotamia dan Babylonia (3000 SM), ternyata ditemukan artefak cengkih Maluku di dapur keluarga menengah setempat. Disebutkan pula Ratu Sheba membawa persembahan berupa batu mulia, emas dan permata, serta rempah-rempah kepada King of Solomon (992 SM). Kota tua Yunani, Tyre, telah menjadi pusat perdagangan Timur dan Barat hinnga ditaklukkan Alexander The Great pada 332 SM (lihat: Spice. The Story of Indonesia’s Spices Trade. Joanna Hall Brierley,1994).

Jalur sutera ini, memang dikuasai pedagang Arab dan pelaut China. Namun melihat relief kapal bercadik ganda (double outriggers) pada Candi Borobudur, yang dibangun oleh Wangsa Syailendra pada abad 9 Masehi, ternyata kapal bercadik ganda tersebut dibuat dipesisir Halmahera, makanya disebut sebagai The Halmahera Double Outriggers, yang digunakan untuk pelayaran jarak jauh membawa cengkih dan pala hingga mencapai Madagaskar. Cengkih Zanzibar yang dikenal sebagai cengkih termahal didunia, berasal dari bibit dari Halmahera yang diselundupkan oleh Pierre Poivre (1719-1786), seorang pelaut dan missionaris berkebangsaan Perancis. Kepadanya, pernah 4 Sangaji (kepala suku) Halmahera mendeklarasikan kawasan Maluku Utara menjadi bagian dari wilayah kekaisaran Perancis. 4 sangaji ini bahkan mengibarkan bendera Perancis di Halmahera.

Pierre Poivre sendiri, tercatat dua kali menyelundupkan cengkih dan pala dari Maluku. Penyelundupan pertama dari Pulau Mayau, Batang Dua, namun bibit cengkih tidak tumbuh subur ketika ditanam di Mauritania. Makanya iapun merencanakan penyelundupan kedua, dan bibit cengkih raja dan pala diambil langsung dari Halmahera. Adapun China sendiri telah melakukan perdagangan cengkih sejak abad ke 3 SM di Indonesia, bahkan jahe (ginger) juga diperdagangkan secara luas pada era Confucius (551-479 SM). Komoditi ini diperkenalkan oleh bangsa China ke dunia Barat melalui Jalur Sutera (Silk Road), melalui laut dan berlanjut menggunakan unta (Caravan Road).

Bangsa Eropa yang berebutan ke nusantara, karena harga rempah-rempah nusantara sangat menguntungkan sebagai komoditi perdagangan pada jalur sutera yang selama ini dikuasai oleh bangsa China. Sejarawan R.Z. Leirissa menyebut jalur tersebut sempat terputus ketika Bangsa Mongol menguasai China dan sebagian besar kawasan Asia hingga Eropa karena ekspansinya yang luar biasa tersebut.

Bahkan Kubilai Khan tercatat mengirim 30.000 pasukan ke Jawa pada tahun 1293 untuk menaklukan nusantara. Namun baik Kertanegara maupun Raden Wijaya menolak dengan tegas untuk tunduk pada kekaisaran Mongol tersebut. Pimpinan ekspedisi Meng Khi, bahkan dipotong hidungnya oleh para pedekar Jawa. Ia sengaja dipermalukan dan itu membuat murka Kubilai Khan.

Padahal Dinasti Yuan (Mongol) ini nyaris menguasai seantero bumi. Oleh Charles Horner, dalam bukunya Memories of Empire in a New Global Context, Rising China & It’s Postmodern Fate, membagi periodisasi kekuasaan China atas Yuan Dynasty atau Pax Mongolica, Ming Dynasty atau Pax Sinica, Qing Dynasty atau Pax Manjurica, hingga Proletariat Dynasty pada era Mao dan Modern China dibawah Deng Xiao Ping. Apa yang dilakukan oleh China modern dewasa ini, tak dapat dilepaskan dari perjalanan peradabannya yang demikian panjang sejarahnya. Dinasti Tang sebagai dinasti abad 7 masehi, telah sukses melebarkan China sebagai negeri pusat bumi, dan mengirim para taipan keberbagai penjuru dunia.

Laut China Selatan sebagai Battleground.

Perebutan hegemoni global yang terjadi sekarang di Laut China Selatan, pada dasarnya adalah kontestasi menguasai jalur maritim yang telah terjadi sejak berabad-abad silam. Awal klaim atas pemilikan dunia dilakukan oleh dua raksasa abad pertengahan yaitu Spanyol dan Portugis, hingga Paus Alexander XII turun tangan mendamaikannya melalui Traktat Tordesilas

pada 7 Juni 1494 tersebut. Jalur laut menjadi pilihan tak terelakkan karena jalur sutera (Silk Road dan Caravan Road) via daratan yang telah berlangsung lama sejak 100 SM hingga 1450 M, menjadi terputus selama Perang Salib dan ekspansi Tentara Mongol. Juga jatuhnya Konstantinopel sebagai ibukota Romawi Timur ke tangan Turki Ottoman telah memutuskan jalur perdagangan silk road.

Dan lautpun menjadi alternatif. Setelah meredupnya Portugis dan Spanyol seabad kemudian, lahir kekuatan maritim baru yakni Belanda dan Inggris, yang tetap meneruskan perebutan wilayah laut. Sebutlah Hugo de Groot (Grotius) yang mewakili Belanda yang gigih memperjuangkan Mare Liberum atau konsepsi Laut Bebas untuk menjamin kebebasan berlayar bagi armda dagang Belanda, melawan John Sheldon yang mewakili Inggris dengan konsep Mare Clausum atau laut tertutup tersebut. Era ini disebut era battle of the books. Bahwa keberadaan Amerika sebagai pelanjut tradisi Anglo Saxon hingga hari ini, masih kukuh mempertahankan prinsip freedom navigation, sebagaimana ditulis penulis Amerika Louise Fargo Brown dalam The Freedom of the Sea. Bahwa kekuatan bangsa- bangsa besar tersebut, dalam sejarahnya sangat bergantung pada seberapa mampu bangsa tersebut menguasai jalur pelayaran dan maritim dunia.

Pertarungan hegemoni atas laut ini, dalam konteks kontemporer adalah menguasai jalur distribusi perdagangan barang manufaktur negara-negara produsen yang semakin mendunia. Sebagaimana China yang berusaha keras menguasai jalur laut dan sumber daya energi bawah laut kawasan Laut China Selatan (LCS) sekarang. Tak tanggung-tanggung, China telah menerbitkan undang-undang teritorial baru yang mengklaim LCS sebagai wilayah tradisionalnya, halmana bertentangan dengan ketentuan UNCLOS,1982. Klaim sepihak China ini sangat merugikan wilayah laut ZEE anggota ASEAN. Dengan Nine Dash Line-nya RRC tersebut, maka batas wilayah ZEE Filipina hilang 80%, termasuk seluruh kawasan Reed Bank dan lahan gas alam Malampaya.

Malaysia kehilangan 80% wilayah laut di Sabah dan Sarawak, termasuk kawasan gas alam lepas pantainya. Vietnam kehilangan 50% dari total ZEE-nya. Brunei kehilangan 90% wilayah ZEE- nya. Sedangkan Indonesia kehilangan 30% ZEE-nya pada wilayah Natuna Utara. Sebaliknya China mengklaim 3,5 juta kilometer wilayah LCS sebagai miliknya, tanpa koordinat tetap dan basil legalnya, karena bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang diakui dunia internasional. Kepulauan Spratly dan Paracel Islands resmi telah dijadikan pangkalan militer (lihat: The South China Sea: The Struggle for Power in Asia. Bill Hayton, 2014).

Selain itu, rencana pembangunan Free Trade Harbour Hainan, sebagai bagian dari program OBOR dan BRI China sekarang, dengan menjadikannya sebagai Greater Bay Area bagi kawasan Asia Tenggara, semakin menunjukkan bahwa China tidak bermain-main dalam soal perebutan hegemoni ini. Masterplan Hainan dijadikan sebagai provinsi paling selatan, terlepas dari Semenajung Guangdong, akan menciptakan Hainan sebagai zona ekonomi khusus.

Demikian juga 14 kota pesisir akan dijadikan sebagai pintu investasi luar negeri sejak 1988. Rencana strategis China ini, jelas akan mempengaruhi konstelasi perimbangan kekuatan geopolitik di Asia Tenggara dan dunia. Karena Asia Tenggara akan menjadi simpul vital bagi distribusi perdagangan China kedepan. Itulah mengapa Inisiatif Sabuk Maritim yang dicanangkan melalui Maritime Silk Road tersebut, sebagaimana ditulis oleh Dan Steinbock dari New York University tersebut.

Sejak reformasi ekonomi Deng, China jelas membutuhkan sumber daya besar untuk menjamin keberlangsungan industri manufakturnya. Sejak 1987, ilmuan China melakukan survei di Laut China Selatan. Dan pada 1989 mereka mengklaim menemukan potensi energi di Kepulauan Spratly sebanyak 25 milyar meter kubik gas alam dan 105 milyar barel minyak. Juga pada areal James Shoal ditemukan kandungan 91 milyar barel minyak. Deng pun melakukan rapat pimpinan politik untuk menentukan apa yang ditemukan para ilmuan tersebut bagi kepentingan China kedepan. Dengan potensi sebesar itu, jelas akan menjadikan

kawasan LCS sebagai battleground dari kontestasi hegemoni global. Dan suka atau tidak suka, Indonesia dan negara kawasan ini, akan mengalami dampak dan implikasinya.

Implikasi Terhadap Asean dan Indonesia 

Indonesia akan mengalami implikasi dalam setiap kebijakan atas Laut China Selatan tersebut. Lihat saja semakin seringnya kapal nelayan China bebas memasuki ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, dan dikawal ketat oleh Coast Guard China. Juga beberapa armada China telah melintasi Selat Malaka hingga Selat Sunda dan ditemukannya drone atau sea glider pengumpul data bawah lauh yang diduga milik China tersebut, menandai bahwa Indonesia semakin rentan di susupi. Drone (sea glider) yang ditemukan nelayan di Selat Karimata, Masalembo hingga perairan Pulau Silayar, jelas bukanlah sebuah kebetulan.

Sejak lama kawasan ini menjadi incaran. Sterling Seagrave yang menulis The Invisible Empire of The Overseas Chinese, Lords of the Rim (1995), menguraikan setiap wilayah Asia Tenggara yang telah berabad-abad didatangi imigran China dan mereka menjadi Taipan yang menguasai kehidupan ekonomi kawasan ini. Seagrave bahkan menulis bab khusus tentang Indonesia, yang disebutnya sebagai kawasan bermain ikan paus. Karena pada 11 negara ASEAN dengan penduduk 668.619.840 jiwa, Indonesia memiliki sumberdaya alam terbesar diantara 11 bangsa-bangsa ASEAN tersebut.

Dengan wilayah terluas dan penduduk sebanyak 273.523.615 jiwa, akan menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi sekaligus pangsa pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sebutlah Konawe, Morowali dan Halmahera, sebagai investasi nikel terbesar yang sementara dilakukan China di Indonesia, untuk menyuplai bahan baku baterai lithium terbaik dunia bagi industri mobil listrik. Namun Indonesia sendiri, masih jauh dari sejahtera. Bahwa kekayaan sumber daya alam, bukanlah taken for granted, karena kita masih saja mempersoalkan parameter makna kesejahteraan itu sendiri.

Dalam catatan Purwo Santoso, pengajar senior UGM, menyebutkan perlunya kebijakan berwatak transformatif, yang tidak sekedar kebijakan prosedural (lihat: Mitos Tambang untuk Kesejahteraan, Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Hendra Try Ardianto. 2016). Bahkan Tesla Shanghai Motor telah menargetkan 1 juta produk mobil listrik pertahun.

Sebaliknya dalam pandangan Amerika Serikat, sejak tesis Huntington dan diteruskan oleh Robert D. Kaplan, masih mempertahankan hegemoni dunia yang telah dipegangnya sejak berakhirnya Perang Dunia II. Kaplan jelas menyebut battleground masa depan dunia akan berada pada kawasan maritim. Dan kontestasi itu akan terjadi di Laut China Selatan, ungkap Kaplan, seorang koresponden militer Amerika tersebut.

Dan kini, dua kekuatan sementara berhadap-hadapan. Trans Pacific Partnership (TPP), yang dibatalkan sepihak oleh Trump, kini diadopsi lagi oleh Joe Biden, untuk mengimbangi hegemoni BRI (OBOR) China. Kaplan menyebut Amerika takkan mudah melepas hegemoni yang telah dinikmatinya selama ini (lihat: The Return of Marco Polo’s World: War, Strategy, and American Interest in the Twenty- first Century. Robert D. Kaplan. 2018). Termasuk memperkuat kedudukan Taiwan dalam menghadapi China. China juga telah membangun pangkalan militernya di Jibouti sejak 2015 dengan berbasis diplomasi The New Silk Road tersebut.

Kontestasi kawasan ini, secara substantif, telah ditulis oleh Sam Ratulangi pada 1937, sebelum Indonesia merdeka (Indonesia di Pasifik). Gubernur pertama Sulawesi pada awal kemerdekaan Indonesia ini adalah seorang futurolog, karena apa yang digambarkannya sekarang hadir didepan mata kita. Sam Ratulangi menyebutkan bahwa economic nessecity akan menjadi titik picu perebutan hegemoni kawasan Pasifik ini. Indonesia, sebagai negara konsumen sekaligus sumber bahan mentah terbanyak dan tujuan penaman modal, akan menjadi ajang perebutan kekuatan hegemoni pasar dunia.

Jika Indonesia gagal mengembangkan kemandirian industri berbasis ipteknya dan memperkuat ketahanan dalam negerinya, akan melemahkan posisi tawar Indonesia dimata para taipan besar yang sementara melebarkan sayap untuk memperluas hegemoninya. Sam Ratulangi misalnya mencatat periode 1930 hingga 1935, Indonesia memiliki kelebihan ekspor sebesar 1.213 juta gulden. Namun uang sebesar itu tidak mengalir ke Indonesia, tapi ke negara penjajah Belanda. Ekonom UGM Revrisond Baswir (2013), dalam kajiannya menyatakan neo-kolonialisme masih bercokol di negeri ini, seakan VOC masih tetap eksis hingga sekarang. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia mengalami kontraksi ekonomi terburuk dalam 150 tahun terakhir (Kompas, 6 April 2021).

Padahal kawasan ini, telah memberikan kontribusi sejak beabad-abad silam, bagi peradaban dan ekonomi dunia. Tantangan Indonesia, bukan sekedar sebagai bangsa pengingat belaka, mengutip sejarawan senior UI Susanto Zuhdi, namun harus menjadi bangsa pencatat. Rempah-rempah telah berhasil menyatukan Indonesia pada masa lalu, namun kita tak boleh terus menerus terbuai dengan romantisme ingatan, dan lupa untuk menatap realitas hari ini sekaligus merangkai masa depan.

Karena para gajah tengah bertarung dihalaman depan rumah kita, bakal mengusik rumah kita. Adagium lama civic pacem para bellum, jika ingin damai maka bersiaplah perang, akan berlaku. Menghadapi transisi global power ini, mungkin benar kata Sun Tzu dalam The Art of War: if you know the enemy and know yourself, you need not to fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. Lanjut Sun Tzu: if you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle (China’s World. What Does China Want. Kerry Brown. 2017).

Pojok Batavia, 16 April 2021.

Penulis: Pakar Hukum Internasional dan Anggota DPR RI periode 2014-2019

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button