Berita TerkiniHeadlineKolom

Hagia Sophia, Erdogan dan Neo-Ottoman

Penulis: Ahmad Mulyadi, M.A, Pengamat Geopolitik alumnus Universitaet Bayreuth, Jerman, dan alumnus Centro Studi di Geopolitica, Roma, Italia.

Pekan ini adalah momen bersejarah bagi warga Turki khususnya dan bagi umat muslim umumnya. Hal itu lantaran pada pekan ini, tepatnya Jumat 24 Juli 2020, salah satu bangunan paling bersejarah di dunia, yakni Hagia Sophia, atau yang dalam Bahasa Turki sering disebut Ayasofya, rencananya akan digunakan untuk salat Jumat. Ini akan menjadi salat Jumat pertama di Hagia Sophia sejak 1935 lalu.

Haga Sophia yang pada 1935 lalu dialih fungsikan menjadi museum oleh Mustafa Kemal Attaturk (Presiden Pertama Republik Turki), kembali berfungsi sebagai masjid sejak Juli 2020 ini setelah melalui proses panjang di pengadilan Turki yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan. Perubahan fungsi ini, menimbulkan opini yang beraneka ragam. Sebagian berpendapat ini sebuah langkah positif, sebagian lainnya memandang ini sebuah langkah mundur.

Bagi saya pribadi, terlepas dari latar belakang budaya dan agama saya, memandang keputusan Presiden Erdogan ini sebagai langkah bernuansa geopolitis, mengingat keputusan tersebut diambil di saat Turki sedang berproses menjadi Neo-Ottoman (Ottoman adalah istilah dalam bahasa Inggris untuk menyebut kata Utsmaniah).

Memang, jika dipandang dari sudut agama, tentu sebagian besar umat Islam menganggap langkah Erdogan ini sebagai sebuah hal positif untuk kemajuan umat Islam di dunia. Sebaliknya, bagi mayoritas penganut agama Kristen, tentu keputusan Erdogan ini merupakan sebuah langkah mundur.

Apalagi, bangunan ini sebelum diubah oleh Fetih Sultan Mehmet (Sultan Muhammad Al-Fatih) menjadi masjid pada 1453 lalu, merupakan salah satu simbol dan kebanggan umat Kristen (terutama Kristen Ortodoks) dan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).

Bahkan, selama hampir sepuluh abad lamanya, bangunan megah yang berlokasi di dekat perbatasan antara Eropa dan Asia ini berpredikat sebagai gereja sekaligus katedral Kristen terbesar sedunia sebelum akhirnya dipecahkan rekornya oleh Katedral Seville di Spanyol pada abad ke enam belas.

Kembali ke pandangan pribadi saya yang menganggap ini sebuah langkah geopolitis. Hal ini terutama didasarkan pada konteks historis. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa keputusan ini diambil di saat Turki sedang bangkit secara ekonomi maupun politik. Kebangkitan Turki yang dimotori oleh para politisi AK Parti (Partai Keadilan dan Pembangunan) ini tidak bisa dipisahkan dari sosok Recep Tayyip Erdogan, tokoh sentral di tubuh AK Parti.

Sejak awal kemunculannya di perpolitikan nasional Turki, Erdogan memang berniat membawa Turki kembali berjaya seperti di era Imperium Utsmaniah. Erdogan, meskipun tidak secara terang-terangan menyebut dirinya sedang membangun Neo-Ottoman Empire, namun sering menghidupkan kembali tradisi Ottoman. Misalnya, parade militer khas Ottoman yang diperagakan saat menjamu kepala negara lain di istana kepresidenan Turki di Ankara.

Lalu, Erdogan pun berinvestasi besar-besaran untuk mempromosikan sejarah kejayaan Ottoman melalui berbagai soft power seperti industri film, musik dan kesenian-budaya lainnya. Selain itu, Erdogan pun sering merayakan momen-momen sejarah yang berhubungan dengan kesuksesan-kesuksesan yang pernah diraih oleh para leluhurnya dari Dinasti Utsmaniah.

Hal ini tentu saja bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa bangga dan meningkatkan rasa nasionalis-relijius sebagai bangsa Turki sekaligus muslim yang pernah berjaya di tiga benua semasa era keemasan Imperium Utsmaniah dahulu.

Rasa Ottoman, tak hanya terasa dalam atribut seni dan budaya. Nuansa ini pun begitu kental jika kita melihat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi Turki di era Erdogan ini. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Erdogan mengingatkan kita akan strategi-strategi yang diambil oleh para penguasa Ottoman Empire di era kejayaannya.

Di sektor ekonomi, ekspansi ekonomi secara massive yang diawali oleh penguatan ekonomi di dalam negeri begitu terasa. Di bawah Erdogan, ekonomi Turki mengalami kebangkitan signifikan. Tidak seperti negara-negara Timur Tengah lainnya yang umumnya mengandalkan kekayaan sumber daya alam seperti minyak bumi, gas dan sebagainya, kebangkitan ekonomi Turki relatif merata di berbagai sektor.

Perindustrian Turki kini menjelma menjadi salah satu yang terbesar di kawasan Timur Tengah. Bahkan beberapa bulan yang lalu, Erdogan telah meresmikan salah satu industri otomotif kebanggan Turki yang diberi nama TOGG, sebuah mobil listrik produksi dalam negeri Turki yang diklaim mampu bersaing dengan kendaraan-kendaraan sejenis asal Eropa.

Kebangkitan ekonomi dan industri Turki ini tak hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Sejak Erdogan berkuasa, pemerintah Turki begitu aktif melakukan ekspansi ekonomi ke wilayah-wilayah lain terutama wilayah-wilayah yang dulu pernah dikuasai atau pun di bawah pengaruh Imperium Utsmaniah, seperti wilayah Balkan, Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika. Investasi Turki di wilayah-wilayah tersebut kini menjadi salah satu yang paling cepat perkembangannya dan itu menjadi sebuah sinyal kebangkitan kembali Imperium Utsmaniah (Neo-Ottoman Empire).

Di sekor politik dan militer pun, nuansa kebangkitan Utsmaniah tidak bisa dipungkiri. Di bawah Nahkoda Recep Tayyip Erdogan, Turki kini menjadi salah satu pemain kunci di berbagai medan politikkhususnya di wilayah-wilayah yang dulunya di bawah kendali atau pun pengaruh Imperium Utsmaniah.

Dengan kemampuan teknologi militer dan pengaruh diplomasi Turki yang terus berkembang, Turki mulai terlibat dalam berbagai penanganan krisis di berbagai wilayah, mulai dari Suriah dan Irak di kawasan Timur Tengah, Azerbaijan di wilayah Kaukasus (Asia Tengah), Siprus di kawasan Laut Mediterrania Timur, Laut Aegea yang berdekatan dengan Yunani di Eropa bagian tenggarahingga ke Libydi Afrika Utara. Peran Turki kini tidak bisa dibantah lagi begitu sentral dalam menentukan arah geopolitikKeterlibatan Turki secara geopolitik di wilayah-wilayah tersebut tentu mengingatkan kita akan ekpansi Imperium Utsmaniah di era kejayaannya.

Dengan berbagai pencapaian tersebut, tentu Erdogan membutuhkan sebuah persitiwa simbolik yang memiliki pengaruh secara global. Sebuah peristiwa yang dapat menjadi sebuah simbol kebangkitan Turki di bawah Erdogan.

Dan itu di antaranya bisa didapatkan melalui peresmian Hagia Sophia sebagai masjid. Sebuah peristiwa yang lebih dari setengah milenium lalu pernah dilakukan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Jika dahulu, Sultan Muhammad Al-Fatih melakukannya sebagai simbol penegasan kekuatan Imperium Utsmaniah di kancah internasional (selain sebagai simbol realisasi Bisyarah Nubuwwah), maka sekarang, Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukannya sebagai simbol kebangkitan kembali Utsmaniah-Turki (Neo-Ottoman) di era global-modern ini. (timurmedia.com)

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button