HeadlineSarapan Pagi

Sayup-sayup Khilafah

Oleh : T. Taufiqulhadi

SAYA benar-benar merasa rendah diri karena setua ini belum juga paham-paham tentang khilafah. Bayangkan,  nyaris semua pemegang KTP Islam di negeri ini, tak kenal laki-laki atau perempuan, tua atau muda, lancar belaka bicara soal khilafah. Bahkan seorang anak muda yang berislam baru seusia kucing kampung keyangan anak saya, mampu bicara khilafah sepasih Plato ngomong demokrasi.  Sementara saya membedakan antara khilafah dan khalifah saja masih sayup-sayup.

Sebenarnya, atau berat dugaan, sebelum anak muda itu lahir saya sudah pernah mendengar sekelumit  prihal khilafah atau khalifah. Di desa saya pada bulan ramadhan, kami anak-anak ikut ayah kami menyebut nama empat khalifah sebagai pengganti  Nabi pada pengisi jeda antara dua shalat tarawih.

Tapi yang saya tidak paham, ada persoalan segawat ini sekarang bahwa Republik ini yang didirikan oleh para pahlawan yang selalu mendapat kiriman doa dari para orang tua kami setelah shalat magrib itu,  tidak cocok lagi. Repulik ini perlu di-delete dari muka bumi ini dan diganti dengan model “pemerintahan terbarukan” yang sangat diridhai oleh bumi dan langit itu yaitu khilafah.

Saking rendah diri, saya sempat berpikir mau pergi jauh ke Arab untuk belajar  prihal khilafah ini dan juga untuk sekedar  bertanya apakah orang-orang Arab itu setuju atau tidak kalau negeri mereka yang namanya macam-macam  itu dibubarkan saja, lantas   dilebur jadi satu? Toh, nama-nama itu juga tidak pernah muncul di kuping Arab atau keturunan Nabi Adam lainnya sebelum tahun 1916.

  Tapi hanya karena ulah dua manusia degil dan berotak penjajah Mark Sykes, dari Inggris serta Francois George-Picot, kerabatnya Jean Marie Le Pen di Paris, tepat dari atas meja mereka muncullah nama macam-macam negara. Keduanya, persis kelakuan kucing garong, mendengus-dengus kemudian mencabik-cabik Arabia secara penuh rahasia.  Maka apakah itu  golongan syekh atau golongan qabili, Arab abid, lebih-lebih kaum Baduwi di gurun Nejez, bermimpi pun tidak bahwa nanti bakal ada nama-nama di pelosok di gurun itu seperti Arab Saudi, Kuwait,  Yordania dan lainnya itu.

Tapi tak lama kemudian semua makhluk di semenanjung itu riang setengah mati dan  menyanjung-janjung Sir Sykes dan Mon Coeur Picot laksana pahlawan perang Uhud  karena telah brhasil membawa keluar mereka dari penjajahan orang Turki. Nama-nama  seperti Irak, Kuwait, Arab Saudi yang tak terbayangkan  sebelumnya itu adalah simbol kekalahan kaum Ajam (non-Arab)  yang berani-beraninya menggunakan nama khilafah untuk menjajah bangsa Arab yang terhormat.

Jadi apakah pemegang merk khilfah itu hanya hak orang Arab? Tergantung pemikirnya. Tabiat para pemikir di jaman dahulu mirip pemikir jaman sekarang juga: musim apa, harus mengatakan bagaimana. Ada pemikir yang hidupnya di jaman Khilafah Abbasiyah, seperti Al Mawardi (w. 1058). Pemikir yang menulis puluhan kitab soal siyasah ini menyaksikan sendiri bagaimana khilafah sunni keturunan  Quraisy itu nyaris tinggal merek saja. Urusan yang nyata seperti otoritas politik ,telah digondol orang lain yaitu keluarga Buwayhi yang Syiah.

Al Mawardi, yang tidak tahan lagi melihat khalifah kesayangannya, al-Qa’im, hanya mengelus-elus jenggot karena tidak ada kerjaan, tampil ke depan. Ilmuan yang bergelar Aqda al-Qudat (Kadi Terbaik) itu,  berhujah,  Imamah atau khilafah itu adalah institusi pengganti Nabi untuk memelihara urusan agama dan mengelola urusan dunia. Institusi ini teramat penting dan mulia.

Saking penting dan mulianya, ia tidak boleh jatuh ke tangan kaum Ajam atau Syiah. Jika saat itu ada otoritas politik sejenis Abbasiyah di Mesir yang dikenal  dengan Khilafah Fatimiyah, itu mesti kelakuan orang Syiah yang tidak ada kerjaan, karenanya harus dianggap tidak pernah ada di muka bumi ini.

Lain lagi pikiran Ibnu Khaldun (w. 1406), sarjana yang menggotong gagasan Ashabiyyah (solidaritas sosial berdasarkan darah dan suku) tersebut.  Ilmuan yang lahir dari rahim ibu orang Berber di Tunisia sekarang, merasa tidak perlu rumit-rumit mempertahkan klaim otoritas  kaum Quraisy atas khilafah itu.

Orang Quraisy itu juga manusia seperti kaumnya di Tunisia.  Walau di tengah kaum Quraisy itu pernah lahir manusia mulia seperti Nabi, Abu Bakar hingga Ali, tapi di sana ada juga Abu Lahab, Abu Jahal yang bakhilnya naudzubillahimindzalik. Maka untuk apa susah memikir kaum Quraisy yang sakit itu. Kalau memang hebat dan ada restu dari langit karena keturunan kaum Quraisy, tidak mungkin Khilafah Abbasiyah itu disapu oleh cucu Jenghis Khan, Hulagu, semudah menyapu daun kering.

Jadi, menurut Ibnu Khaldun yang mengagumi Jenghis Khan dari ujung hidung hingga ujung kaki, sebuah khilafah akan kuat bin hebat jika didukung oleh ashabiyyah yang kuat.  Khilafah, lanjut Ibnu Khaldun yang menulis kitab Al-‘Ibar yang tebalnya bukan kepalang itu, harus diserahkan kepada Ashabiyyah kuat biar tercipta otoritas politik yang stabil dan akhirnya menghasilkan peradaban. Jangan diserahkan kepada Ashabiyyah sakit-sakitan, yang jangankan menguruskan daulah yang kuat, mengurus dirinya belum tentu becus. 

Khilafah itu, menurut sarjana muslim yang hidup menjelang ajal Daulah Mameluk yang berkuasa di Mesir, memang anak kandung Arab Islam. Tapi bukan berarti Arab  harus didorong terus-menerus untuk mengambil-alih kepemimpnan dunia Islam.

Kalau Ashabiyyah ini sedang sakit, mau didorong bagaimanapun akan tetap saja ngadat di  jalan.  Maka dalam situasi seperti itu, khilafah yang berbasiskan Ashabiyyah Mongol pun boleh didukung asalkan mampu menjamin ketertiban daulah.

Tapi ingat, kata Ibnu Khaldun, khilafah itu sama dengan Imamah, dan mendirikan Imamah/khilafah itu bukanlah tuntutan syari’at. Tidak juga salah satu rukun/tiang agama, seperti shalat. Imamah itu adalah kepentingan umum sejalan kebutuhan rakyat banyak (jumhur). “Jangan ikut  kekeliruan (Syiah) Imamiyah,” ungkapnya. “Menjadikan Imamiyah sebagai rukun/tiang agama.”

Setelah dinasti Mameluk (daulah yang dipimpin keturunan budak) bubar tertelan bumi, di atas puingnya tumbuhlah sebuah dinasti baru di Anatolia, yang kemudian dikenal Kesultanan Turki Usmani. Karena minim legitimasi khilafah, maka para sultan keturunan Usman Gazi  (w. 1324) ini pekerjaan sehari-harinya selain berperang adalah mencari simbol-simbol  agar bisa diterima berkuasa dengan tenang atas dunia Islam.

Hari ini menyebut dirinya sultan, besoknya khalifah, esoknya lagi penguasa atas dua tempat suci. Karena diketahui semua alasan fiqih dan sunnah telah ditumpahkan sampai habis untuk mendukung teori-teori khilafah sebelumnya, Khilafah Usmani ini merasa lebih cocok bila dijelaskan dari perspektif sufistik.

Maka muncullah para sarjana muslim musim sufi tersebut, seperti Idris al-Bidlisi (w. 1520) untuk menjustifikasi kesultanan yang semula dikenal sebagai nama Usmanly Baylik (Emirat Usmani) ini. Dalam kitab berbahasa Persia Qanun-i Shahanshahi (Prinsip Imperium), al-Bidlisi menyatakan, kepemimpinan negara adalah berkah Tuhan.

Apapun manfaat yang diperoleh manusia adalah anugerah Tuhan. Shahanshahi adalah sejenis manfaat suci (mavhibat, ni’mat) yang diletakkan pada seseorang yang dapat berkah. Dalam model Shanhanshahi ini, khalifahnya pasif saja. Maka, mengikuti argumentasi al-Bidlisi, kebetulan pada kurun tersebut yang dapat berkah jadi khalifah adalah kaum Turki, bukan Arab Quraisy. Maka jangan banyak cakap, terima saja.

Belakangan setelah Khilafah Turki Usmani bubar total pada 1924,  muncullah pemikir-pemikir musim bubar khilafah Turki. Bubarnya khilafah Islam ini, ditaksir, karena sejumlah pengaruh buruk. Pengaruh buruk itu karena filsafat Yunani, Persia, Kristen, Hindu dan Eropa. Juga pengabaian bahasa Arab oleh orang-orang Turki — yang mungkin mereka tidak suka bahasa yang penuh fi’il dan isim yang ribet itu.

Paling hebat adalah pembelahan dunia Islam oleh Barat. Maka tampillah ke depan Rasyid Ridha (w. 1935) keturunan Asyraf (Quraisy) yang lahir di suatu tempat di Libanon sekarang, dan Taqiuddin al-Nabhani (w. 1977), tokoh politik Palestina pendiri sebuah parpol, Hizbut Tahrir (HT).

Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama  menggebu-gebunya mengurus hal-hal muskil soal khilafah. Bedanya, Ridha pemikir khilafah yang pro-Nasionalisme Arab, al-Nabhani pendukung khilafah yang anti-Nasionalisme.

Ridha adalah pemikir dengan bejibun karyanya, dan saking banyaknya, orang bingung melihat konsistensinya soal konsep khilafah. Tapi, mungkin sebagai keturunan Quraisy, setelah berpikir panjang, Ridha memutuskan khilafah itu cocoknya di tangan orang Arab Quraisy. “Khilafah di tangan Turki Usmani tidak ideal karena didasarkan atas asyabiyyah,  bukan agama”.

Lebih penting lagi, jika khilafah Turki tertelan bumi, maka yang patut dihidupkan adalah sejenis khilafat di atas bumi Arab yang bertaburan umat Islam itu. Khilafah jenis ini akan menjamin pelaksanaan ibadah dan penerapan syariat Islam di muka bumi. Maka Ridha mengusulkan, orang Arab harus berteman dengan Inggris. Kenapa Inggris? Inggris, menurut Ridha, adalah sejenis penjajah yang ramah.

Dengan alasan itu, ia bertemu dengan Sykes, manusia degil di atas. Di depan Sykes yang belum ketahuan belangnya itu, Ridha menyodorkan usulnya yang brilian: membentuk suatu negara Arabia yang merdeka di bawah Syarif dari Mekkah. Negara merdeka itu luasnya dari Laut Tengah hingga Teluk Pesia.

“Masuk di dalamnya, Palestina, Suriah, Mesopotamia, dan wilayah-wilayah pebatasan Persia, Anatolia, dan Laut Tengah.” Sykes menyimak dan membawa berkas itu ke meja kerjanya dekat kutub utara di sana, dan akhirnya memutuskan: Arabia harus dicabik-cabik.

Lain lagi polah al-Nabhani. Ia tidak sepaham dengan Rasyid Ridha, pemikir soliter. Seharusnya, paparnya, bentuklah partai politik. “Berjuang tanpa parpol, itu kalau bukan kelakuan sufi maka pasti tabiat preman,” kira-kira seperti itulah pikirannya. Kendati ia gigih memperjuang khilafah, ia sempat bersentuhan dengan realitas naionalisme, khususnya ketika dalam pemerintahan Mandatory yang lepas dari Khilafah Turki. Tapi karena  dua upaya politiknya yang gagal yaitu gagal terpilih jadi anggota parlemen Yordania pada 1954, dan gagal mengudeta  Raja Abdullah I dari Yordania pada 1959, penulis buku Inqadzu Filistin (Penyelematan Palestina)  berbalik jadi sangat pro-Islam dan sangat anti-Nasionalisme. 

Hizbur Tahrir, yang kemungkinan awal,  jadi kendaraan politik di tingkat negara nasional, berubah haluan menjadi partai politik untuk seluruh dunia. Tapi al-Nabhani sendiri tidak pernah tegas menyatakan apakah pembentukan khalifah itu fardu kifayah (kewajiban kolektif)  atau fardu ‘ain (kewajiban individual). Kebingungan al-Nabhani dan para pemikir lain di atas dapat dipahami karena di dalam al-Quran sendiri tidak secara tegas menyebutkan perkara ini: apakah khalifah itu perlu dikaitkan dengan urusan kekuasaan politik sehari-hari atau tidak?

Khilafah itu bentuk kata sumber (masdar) dari kata kerja masa lalu ‘Khalafa’, dan kata kerja masa kini dan mendatang ‘Yakhlufu’, yang berarti ‘menggantikan’.  Khalifah adalah orang yang melakukannya dari kata kerja ‘Khalafa’. Allah menyebut “khalifah” dua kali, di tempat yang populer disebut surat Adam da surat Daud. Dalam bentuk jamak, Khala-if, disebutnya tujuh kali.

Di tiga tempat lain, Allah menyebut Khulafa. Kemudian ada istilah lain yang berdekatan dengan itu seperti Istakhlafu/yastakhlafu, ukhluf, dan yakhlufun. Tapi aneh bin ajaib, Allah  sama sekali  tidak menyebut langsung istilah “Khilafah” dalam al-Quran. Juga, dari banyak istilah yang berdekatan dengan arti khalifah,  tak sepotong ayat pun menerangkan, kata khalifah tersebut bisa dijadikan sumber legitimasi sebuah kekuasaan politik.  

Maka jika ada sanak saudara saya bisa menjawab dengan tegas bahwa khilafah itu wajib ditegakkan walau bagaimana pun keadaan cuaca dan musim, pasti kehebatan sanak saya tersebut melampaui intelektualitas para pemikir Islam terkenal di atas. Patut diduga sumber ilmu mereka di atas tidak berasal dari khasanah intelektual Islam. Tapi sumbernya pasti dari dunia alam gaib. (*)

Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi

Pejaten Barat, 4 Maret 2020

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button