HeadlineKolomSarapan Pagi

Kepedulian Anak Bangsa di Tengah Bencana Corona

Oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang)

BANGSA ini ternyata lebih tangguh jika ditekan. Negeri ini tidak kehilangan cara dalam menghadapi cobaan seberat apapun yang Tuhan berikan. Negara ini tetap tegak berdiri meski dihadapkan pada setiap gelombang; entah itu Ancaman, Tantangan, Hambatan, maupun Gangguan (ATHG). Ini betul-betul bangsa yang tangguh, Bung!

BANGSA ini betul-betul telah mewarisi ‘kepintaran langit’ yang diberikan Tuhan untuknya. Tak ada negara yang setangguh Indonesia. Negeri ini sering diramalkan memburuk, tapi toh, faktanya masih baik-baik saja. Luar biasa, bukan? Negeri ini diramalkan pecah seperti Yugoslavia, tapi toh masih segar bugar. Hebat memang. Memang hebat. Betul-betul negara dengan ‘pesan langit’ yang khusus.

Dalam sejarah, bangsa ini pernah dijajah Belanda 350 tahun lamanya. Negeri ini dikuras habis oleh Belanda yang miskin itu, negeri yang kecil itu, negeri yang kota-kotanya berada lebih rendah dari permukaan laut itu, toh Indonesia masih tetap kaya.

Lalu datang Jepang menjajah selama 3,5 tahun. Jepang juga berusaha menguras sumber daya alam negeri ini, lalu kabur terbirit-birit dibombardir sekutu. Indonesia pun akhirnya tegak berdiri sebagai bangsa yang berdaulat.

Soekarno, pemuda ganteng bergaya perlente mengantarkan bangsa ini ke pintu kemerdekaannya. Negeri ini pun berdaulat atas nama Indonesia.

Kreativitas Anak Bangsa

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dengan tingkat kreativitas yang tinggi. Tidak ada bangsa yang memiliki aneka makanan yang sangat kaya seperti Indonesia. Jika dihitung dari Sabang sampai Merauke kita mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan jenis kuliner. Rasanya pun bisa berneka rupa sesuai dengan jenis lidah yang tumbuh dan berkembang di seluruh tanah air.

Setiap suku bangsa memiliki jenis kuliner sendiri yang semuanya dapat dinikmati dengan baik. Dari soto Madura hingga soto Padang, dari kare ayam hingga ayam rica-rica. Dari sambel goreng sampai sambel trasi. Dari pepes ikan teri hingga pepes ular sawah. Semua tersedia di negeri ini.

Kreativitas itu adalah aset nasional bangsa ini. Bagaimana dengan negara? Negara harus hadir untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan kebhinekaan kuliner ini sebagai aset kebudayaan dan sejarah bangsa. Jangan dirusak, sebab negara bisa berpotensi menjadi faktor perusak kekayaan ini. Jangan seperti hukum adat yang kini hancur akibat desakan hukum nasional yang tidak adil. Itu juga ulah negara, karena pemerintahya krisis ilmu dan teknologi.

Kita mesti menyadari sepenuhnya, masing-masing bangsa itu sudah memiliki kearifannya sendiri dalam menemukan wajah keadilan dalam masyarakat. Disinilah negara ini ‘gagal’ menerapkan keadilan dalam masyarakat majemuk. Disini pula negara gagal menjadi ‘penyelesai masalah’, bahkan lewat hukum nasional itu negara justru melahirkan masalah baru.

Sebab menyelesaikan masalah-masalah adat yang muncul dalam interaksi di antara mereka, tidak bisa tuntas dengan cara semata-mata menegakkan hukum nasional. Andai negara memperlakukan hukum-hukum adat itu sebagaimana layaknya perlakuan terhadap kuliner nusantara, maka tentu saja hukum adat itu akan memperindah nusantara ini dengan kearifan-kearifan baru.

Di tengah bencana Covid-19, rakyat ini juga menggeliat, merespon keadaan dengan kreativitas yang luar biasa. Ketika terjadi larangan sholat berjamaah misalnya, rakyat yang sangat religius itu menyiasatinya dengan membuat kotak penyemprotan disinfektan. Ketika rumah sakit kekurangan saluran pernafasan yang harganya selangit, maka dosen ITB justru membuatnya dari dalam masjid. Kini sedang diproduksi secara massal dan berbiaya murah.

Ketika rakyat ini merasa sepi karena dikurung dalam rumah, para seniman menciptakan lagu medley yang menyejukkan, puisi, musik tradisional yang lucu-lucu dan menghibur. Ditengah pandemic Covid 19 juga lahir dari anak-anak bangsa ini potongan-potongan video pendek yang isinya aneka rupa; mulai kritik, nasihat, ceramah, hiburan dan sejenisnya. Ada juga yang melakukan diskusi lewat kecanggihan teknologi Zoom Meeting, atau diskusi live by telpon seluler.

Kampus dan lembaga-lembaga pendidikan langsung merespon perintah pemerintah agar diam di rumah (Stay at Home) dengan menyelenggarakan pendidikan belajar dari rumah. Begitu pula dengan para karyawan yang bekerja diperkantoran, kini sudah lama bekerja dari rumah (WFH).

Ketika bangsa ini terseret terlalu jauh pada sikap individualisme dan kapitalisme, toh secara tiba-tiba muncul konetivitas dan solidaritas untuk berbagi dengan warga lain yang kurang beruntung. Uniknya itu justru tumbuh di kalangan anak-anak muda millennial seperti yang salah satunya ditunjukkan oleh Komunitas TurunTangan.

Artinya semangat dan genitis rela berkorban dan solidaritas sosial itu justru tumbuh di tengah masyarakat yang secara ideologis terkapitalisasikan oleh proses besar liberalisme ekonomi bangsa ini. Artinya, saya optimistis bahwa bangsa ini akan tetap baik-baik saja, meskipun ada di antara segelintir pejabat hanya mementingkan dirinya sendiri dengan menumpuk-numpuk “harta haram” hasil korupsi. Dan, itu sebuah tragedi tersendiri. (*)

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button