Berita TerkiniMozaik

Tujuh Wali Karomah Asal Maroko, Ada Imam Yusuf Bin Ali As-Shonhaji hingga Imam Sidi Abdul Aziz Al-Ghazwani

Oleh: Fauzan Adzim Alumni Program Doktoral Universitas Moulay Ismail, Meknes-Maroko

MAROKO selain dikenal dengan sebutan negeri seribu benteng, juga dikenal sebagai negeri para wali. Sejumlah tokoh sufi dan bahkan pendiri tarekat lahir atau menjadikan Maroko sebagai tempat terakhir masa hidup mereka, sebut salah satunya adalah Syaikh Ahmad Al-Tijani, Pendiri dan Tokoh Utama Tarekat Sufi Tijaniyah yang sangat masyhur di Indonesia.

DARI sekian banyak ulama sufi Maroko yang memiliki pengaruh kuat, tidak hanya di Maroko namun juga di negara-negara berpenduduk muslim adalah mereka yang disebut sebagai sab`atu rijal (tujuh tokoh/wali tujuh). Berikut biografi singkat sab`atu rijal dimaksud;

Pertama, Imam Yusuf Bin Ali As-Shonhaji (w 593 h), lahir di Marrakech dan tidak pernah meninggalkan Marrakech sekalipun semasa hidupnya.

Di kalangan masyarakat beliau dikenal dengan sebutan moul al-ghar (penghuni goa) sebab sejak kecil menderita penyakit kusta yang membuatnya diasingkan ke goa di pinggiran kota Marrakech.

Keilmuan dan karomah Imam As-Shonhaji sangat terkenal di kalangan masyarakat, sehinga membuat mereka berbondong-bondong mendatangi kuburannya untuk ngalap berkah, termasuk juga para pengunjung dari luar Maroko.

Kedua, Imam Qadli Ayyadl As-Sibti Al-Yahshubi (w 544 h), silsilah keturunannya berasal dari salah satu kabilah Arab Al-Qahthaniyah dari Yaman. Lahir di kota Sebta, 15 Sya’ban 476 H. Pengembaraan Imam Qadli Ayyadl dalam menuntut ilmu dilakukan dengan berguru kepada sejumlah ulama di Andalusia. Salah satu karangannya yang terkenal di Indonesia adalah Kitab Assyifa bi Ta’rif Huquq al-Mustafa yang membahas tentang keutamaan Nabi Muhammad.

Imam Qadli Ayyadl diangkat sebagai qadli pada umur 35 tahun dan tidak ada seorangpun di kota Sebta yang memiliki karya tulis, keilmuan dan ketokohan melebihi Imam Qadli Ayyadl pada saat itu. Sebagai penghargaan, pemerintah Maroko menjadikan nama Imam Qadli Ayyadl menjadi nama universitas negeri di kota Marrakech.

Ketiga, Imam As-Suhaili (w 581 h) penisbatan namanya As-Suhaili merujuk kepada nama sebuah sungai di kota Malaga, Spanyol.

Lahir pada tahun 508 H dari keluarga keturunan Arab Yaman, beliau mengalami kebutaan sejak umur belasan tahun sebab penyakit tertentu. Tumbuh di keluarga sederhana yang menghargai ilmu, Imam As-Suhaili tekun dalam belajar hingga menguasai sejumlah disiplin ilmu.

Antara lain bahasa, hadis dan fiqh hingga menjadi referensi keilmuan di Kawasan Barat Islam pada masanya. Imam As-Suhaili menjadi satu-satunya sab`atu rijal yang lahir di Andalusia.

Keempat, Imam Abu Al-Abbas (w 601 h). Menjadi yatim sejak kecil, Abu Al-Abbas dikirim ibunya ke tempat kerajinan tradisional untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Sebab kecintaannya kepada ilmu, Abu Al-Abbas kabur dari tempat kerajinan untuk belajar kepada Syaikh Abu Abdillah Muhammad Al-Fakhkhar, namun setiap kali kabur selalu diketahui ibunya dan dikembalikan ke tempat kerajinan.

Saat berumur 16 tahun, Imam Abu Al-Abbas menuju Marrakech untuk belajar dari para syaikh di kota tersebut, namun kondisi kota Marrakech saat itu sedang diblokade setelah kemenangan Bani Muwahhidin dari Bani Murabithin tahun 541 H.

Kondisi tersebut memaksa Abu Al-Abbas mengasingkan diri di bukit Geulis bersama gurunya Mas`ud Al-Haj hingga 40 tahun lamanya. Pada saat pemerintahan Raja Al-Mansur dari Bani Muwahhidin yang terkenal bijaksana, Abu Al-Abbas diminta untuk tinggal di kota Marrakech dan dibangunkan tempat belajar dan rumah untuknya.

Kelima, Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli (w 870 h) dikenal luas di kalangan masyarakat kala itu dengan sebutan moul ad-dalil (pengarang Kitab Dalailul Khairat).

Garis keturunannya sampai kepada shahabat Ali bin Abi Thalib melalui jalur Hassan. Pendidikan dasar agama ia tempuh di kampung halamannya di daerah Jazuli, Maroko. Pada saat remaja, kedua orang tuanya mengirim beliau ke kota Fes untuk belajar langsung dari ulama besar Sidi Ahmad Zarrouq.

Selain sebagai pendiri Tarekat Jazuliyah, Muhammad bin Sulaiman juga menjadi penggerak perlawanan terhadap penjajah di semenanjung barat pantai Maroko.

Beliau meninggal sebab diracun pada hari Rabu 16 Rabiul Awwal 870 H dan dikuburkan di Afoughal, kuburannya dipindahkan ke Marrakech setelah 62 tahun.

Salah satu kitabnya, Dalail Al-Khairat berisi tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad sangat terkenal dan bahkan menjadi wiridan wajib di kalangan pesantren di Maroko dan bahkan Indonesia.

Keenam, Imam Sidi Abdul Aziz Attiba’ (w 914 h), salah satu murid Imam Sulaiman Al-Jazuli dan pengikut kuat Tarekat Jazuliyah.

Para murid Imam Sidi Abdul Aziz Attiba’ menambahkan di belakang nama Tarekat Jazuliyah dengan kata Tibaiyah sehingga menjadi Tarekat Jazuliyah Tibaiyah. Antar anggota tarekat ini memiliki hubungan yang sangat kuat, selain aktifitas tasawuf, sesama anggota peduli untuk menggerakkan aktifitas budaya dan ekonomi mereka.

Imam Sidi Abdul Aziz Attiba dikenal masyarakat karena karomah dan barokahnya yang dapat mengobati beberapa penyakit seperti penyakit kulit, mata dan sifilis.

Ketujuh, Imam Sidi Abdul Aziz Al-Ghazwani (w 935 h), seorang sufi yang sangat dihormati. Lahir dan tinggal di kota Fes serta termasuk di antara murid Imam Sidi Abdul Aziz Attiba’.

Beliau adalah sosok yang memiliki ma’rifat yang tinggi dengan lebih sering memberi contoh dalam perbuatan dari pada melalui perkataan.

Di antara karangannya adalah Kitab an-Nuqthah al-Azaliyah fi Sirri adz-Dzat al-Ilahiyah. Sidi Abdul Aziz Attiba’ meninggal akibat terkena bola-bola besi dari meriam penjajah saat memberi semangat bagi Pasukan Assa’diyin saat mempertahankan benteng-benteng kokoh di kota Marrakech.

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button