Urgensi Persidangan Secara Elektronik di masa Pandemic Covid-19
Penulis : RR. Dewi Anggraeni
Wakil Rektor IV Universitas Pamulang & Anggota Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER)
Wabah Covid 19 telah membuat hidup ini makin mencekam. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Hal ini disebabkan karena dampak pandemi Covid 19 ini tidak hanya berakibat pada stabilitas sektor ekonomi dan sosial saja, namun juga berdampak pada seluruh sektor, termasuk pada tatanan sistem peradilan di Indonesia.
Pemerintah sudah menganjurkan untuk Work From Home (WFH). Tujuannya tidak lain untuk mengurangi resiko terdampak penularan virus Covid-19. WFH dinilai cukup efektif dalam penerapan social distancing guna pengurangan kerumunan massa dalam satu tempat, termasuk dalam hal ini adalah pelaksanaan sidang peradilan dalam ruang peradilan secara langsun
Namun, sistem persidangan dengan pola WFH ini tentu memunculkan banyak kendala dan permasalahan baru, seperti apakah tidak berdampak kepada pengurangan hak atas pembelaan diri para narapidana? Padahal bila persidangan tetap dilaksanakan dengan pola langsung sebagaimana biasa, juga dapat beresiko terdampak virus Covid-19, sedangkan bila persidangan ditunda juga mengakibatkan kerugian bagi para terdakwa, karena nasib dan status yang belum jelas dari para hakim.
Mahkamah Agung dalam hal membuka kembali lembaran produk hukum yang pernah dikeluarkan, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara Pengadilan Secara Elektronik. PERMA ini sangat tepat untuk dapat dilaksanakan khususnya dalam kondisi adanya wabah Covid-19 yang semakin hari semakin mengkhawatirkan masyarakat Indonesia.
Maka dengan video atau web conference dapat menjadi sarana yang efektif guna menggelar sidang oleh Pengadilan Negeri, Kejaksaan, atau Rumah Tahanan. Pola peradilan elektronik ini atau disebut dengan e-court menjadi terobosan efektif yang dapat dilakukan oleh peradilan-peradilan di Indonesia dengan didasarkan pada PERMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 ini juga merujuk kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sesuai dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut, layanan administrasi perkara secara elektronik dapat digunakan oleh advokat maupun perorangan yang terdaftar, yang akan lebih lanjut diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Kemudian pengaturan administrasi perkara secara elektronik dalam peraturan ini berlaku untuk jenis perkara Perdata, Perdata Agama, Tata Usaha Militer dan Tata Usaha Negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Oleh karenanya, untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pembaruan guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan. Selain harus memiliki pelayanan administrasi secara efektif dan efisien tentunya.
Oleh karenanya dipandang perlu untuk melaksanakan persidangan secara elektronik atau e-court agar dapat memenuhi pelayanan administrasi secara efektif dan efesien tadi.
Salah satu keuntungan penggunaan e-court diantaranya seperti pemanggilan para pihak, pengiriman replik-duplik, biaya perkara lebih efektif dengan berdasarkan pada asas cepat, sederhana dan biaya ringan yang menjadi serangkaian administrasi perkara secara elektronik yang berlaku di masing-masing lingkungan peradilan.
Dalam PERMA juga disebutkan bahwa peraturan ini dimaksudkan sebagai landasan hukum penyelenggaraan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan modern.
Mengenai administrasi panggilan secara elektronik, para pihak yang akan menghadiri sidang pun juga akan dipanggil dalam menyampaikan secara elektronik. Kemudian penggugat atau pemohon akan melakukan pendaftaran secara elektronik dan memberikan persetujuan secara tertulis.
Lalu tergugat atau termohon setelah menyatakan persetujuannya kemudian akan dipanggil secara elektronik, dan kuasa hukum wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal untuk beracara secara elektronik.
Selanjutnya juru sita atau juru sita pengganti akan mengirimkan surat panggilan persidangan kepada para pihak secara elektronik melalui sistem informasi pengaduan (SIP). Panggilan tersebut akan dikirim secara elektronik ditujukan ke daerah domisili elektronik para pihak.
Bagi yang berada di luar wilayah hukum, maka pengadilan akan mengirimkan surat dan tembusan kepada pengadilan di wilayah hukum tempat pihak tersebut berdomisili. Perlu ditegaskan juga bahwa panggilan secara elektronik ini adalah sah dan patut, sepanjang panggilan tersebut terkirim ke domisili elektronik dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Terkait salinan putusan atau penetapan pengadilan yang diterbitkan secara elektronik kemudian dikirimkan kepada para pihak paling lambat 14 hari sejak putusan atau penetapan diucapkan. Sedangkan untuk perkara kepailitan atau PKPU, maka salinan putusan atau penetapan pengadilan dikirimkan paling lambat selama 7 hari sejak putusan atau penetapan diucapkan.
Dalam PERMA Nomor 1 tahun 2019 juga dengan jelas menyebutkan bahwa Informasi perkara yang ada dalam Sistem Informasi Pengadilan (SIP) memiliki kekuatan hukum yang sama dengan buku register perkara sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.
Dengan sudah disahkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara Pengadilan Secara Elektronik dan pertimbangan dari Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diharapkan tidak ada lagi alasan penundaan persidangan bagi tahanan yang memiliki kesempatan besar untuk bebas dan secepatnya memberikan asimilasi kepada para napi yang telah memenuhi persyaratan untuk bebas.
Selain diharapkan untuk para pejabat negara yang saat ini suaranya masih didengarkan oleh masyarakat untuk lebih bijak lagi dalam mengambil keputusan. Jangan sampai keputusan yang tidak wajar malah memicu konflik atas perdamaian dunia dan kehidupan yang adil dan beradab. Sehingga persatuan di Indonesia tetap sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang akan terus tetap menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[]