Oleh: Moksen Idris Sirfefa
HARI pertama puasa di tahun 2020 (1441 H) ini ditandai dengan kebijakan pemerintah mengunci semua rute moda transportasi publik dan privat antarkota di luar provinsi maupun dari dan ke luar negeri.
ALIH-alih pagi tadi dua pesawat terbang komersil yang take off dari Halim melintas di langit selatan Jakarta mendorong saya penasaran. Sebab, sejak pukul 00 tadi malam dinyatakan locked untuk segala rute.
Saya cepat-cepat mencoba membuka aplikasi air traffic Flightradar24 dengan maksud ingin mengetahui jenis pesawat, nomor dan tujuan penerbangannya, ternyata sia-sia, terkunci.
Ah, sudahlah ! Yang jelas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan yang me- lead kebijakan ini tentu telah menyadari dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi negara. Tapi inilah kebijakan yang dipandang paling realistis dalam rangka memutus mata-rantai penyebaran virus Covid-19.
Khusus bagi umat Islam, puasa tahun ini suasananya terasa lain. “Inilah puasa ‘teraneh’ yang beta temukan sepanjang hidup ini Bang!”, demikian Kepala BKPM dalam perbincangan pagi tadi. Puasa tanpa shalat tarawih dan tadarus Qur’an bersama di masjid.
Suasana puasa terasa kering tanpa hiruk-pikuk rebutan takjil. Padahal kita kangen shalat tarawih di kampung yang membuat nafas terengah-engah saking cepat bacaan Pak Imam dan gerakan shalatnya.
Semua ini pasti ada hikmahnya. Bahwa puasa juga bermakna me-lockdown panca indra, akal-pikiran dan hati kita dari kecenderungan pada nafsu yang selama ini menguasai perilaku kita.
Nafsu dengan kecenderungan merusak atau Al-Qur’an menyebutnya nafsa la-ammaratun bi al-sũ-i (Qs. 12 : 53) secara lambat-laun membentuk watak (nature) pribadi, masyarakat dan bangsa.
Puasa dari segi psikososial adalah kunci ( the key) bukan dalam arti mengunci interaksi kita dengan orang lain tetapi mengunci perilaku buruk ( bad behaviors) yang merajai hidup kita.
Hidup penuh kepura-puraan, egois dan kemaruk harus segera dibatasi dengan pembatasan pribadi berskala kecil. Sementara kebiasaan menimbun menyebabkan kebutuhan bahan pokok mahal di pasaran, penyelundupan dan mafia kartel merajalela tapi tak tersentuh hukum, manipulasi pajak kekayaan pribadi, kebocoran keuangan negara di semua sektor pembangunan,
Suap politik, kemaksiatan yang tak terkendali dan seterusnya harus segera dikunci dengan pembatasan moral sosial berskala besar.
Puasa mengajarkan pengendalian diri pribadi dan sosial dari bentuk-bentuk bad behaviors yang merusak tatanan kehidupan kebangsaan kita.
Kita tidak pernah maju-maju dibanding negara pulau Singapura yang tak seluas pulau Ambon atau lebih luas sedikit dari pulau Bali yang PDB per kapitanya mencapai US$ 65,233.000 (2019), bahkan diproyeksikan mencapai US$ 75,631,866 pada 2024.
Barangkali saja moral hazard kita juga berkontribusi besar terhadap PDB per kapita kita yang tertinggal di bawah Malaysia dan Thailand, yakni US$ 4.179,9 (2019).
Mestinya, setiap niat puasa kita diniatkan untuk mengekang atau mengunci moral hazard kita agar bangsa Indonesia bisa segera keluar dari kejumudan ini. Puasa yang demikian adalah puasa yang mengunci, puasa yang benar dan diridhai untuk kemajuan.[*]
Penulis: Ketua Bidang Agama dan Ideologi Majelis Nasional Kahmi 2017-2022.