Puasa Panjang yang Produktif
Oleh: Dr Tatang Muttaqien
(Ketua Umum DKM Al-Ikhlas Kedaung, Depok dan menyelesaikan PhD dari Universitas Groningen, Belanda).
Secara kuantitas aktivitas bekerja umat islam di bulan ramadhan mengalami penurunan yang ditunjukkan dengan misalnya pengurangan jam kerja di kantor yang dalam batas tertentu berpotensi mengurangi produktivitas.
FENOMENA tersebut nampaknya menjadi dasar argumen adanya negara yang menghalang-halangi warganya menunaikan hak asasi menunaikan agamanya.
Tentu saja argumen tersebut tak sepenuhnya benar karena sejatinya puasa bertujuan meningkatkan derajat kemuliaan (takwa) yang tentu berpijak pada kinerja (produktivitas).
Sejarah di dalam Al-Quran bahkan memperlihatkan betapa orang yang minum sedikit lebih kuat daripada yang minum banyak sebagaimana diabadikan dalam surat Al-Baqarah 249, “Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya ia berkata: ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai”.
Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya (secara berlebihan), maka dia bukanlah pengikutku. Barang siapa tidak minum, kecuali menceduk seceduk tangan (sekedar melepaskan dahaga dan menguatkan badan), maka ia adalah pengikutku.
Ketika sampai di sungai itu mereka minum, kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata:
“Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Kisah tersebut menyampaikan pesan bahwa segala capaian muaranya berlandas pada kesabaran.
Di sinilah puasa diharapkan mampu memperkokoh kesabaran untuk menyelaraskan kinerja sosial dan ritual sehingga mengantar pada tujuan membentuk pribadi yang pandai bersyukur (QS 2:185).
Konsep abstrak tersebut terasa menjadi kasat mata ketika memperhatikan pengalaman bagaimana anak-anak mampu berpuasa hampir sembilan belas jam dengan tetap beraktivitas secara optimal.
Pada saat itu, puasa Ramadhan bertepatan dengan puncak ujian sekolah yang ditutup dengan beragamam aktivitas luar yang menguras banyak energi, seperti: evaluasi akhir pendidikan olah raga, darmawisata dan mengenal lingkungan sekitar.
Awalnya saya mengira puasa panjang anak-anak akan berdampak kepayahan fisik, namun ternyata mereka tetap energik dan gembira menjalaninya.
Realitas ini mendedahkan pesan yang mendalam bahwa dengan tekad yang kokoh dan kesabaran dalam menunaikannya akan mengantarkan orang-orang yang berpuasa semakin mengenal kekuatan dirinya.
Pengenalan umat manusia terhadap dirinya akan mampu mendekatkan manusia dalam mengenal Tuhannya. Di sinilah fase tujuan kedua puasa menunjukkan jati dirinya, yaitu untuk mengantarkan orang-orang yang berpuasa menjadi orang-orang yang mengetahui, berilmu (QS 2:184).
Selanjutnya, seberat apapun manusia menunaikan puasa tetap memiliki kepastiaan berbuka dan tersedianya hidangan untuk dinikmati yang tentu jauh berbeda dengan puasa alami fakir-miskin yang bukan hanya panjang namun juga tidak pasti.
Kaum dhuafa menahan lapar dan dahaga tanpa jaminan bahwa akan segera menikmati makanan sebagaimana umumnya orang yang mampu.
Kenyataan tersebut memberikan pelajaran penting, bahwa seberat apapun ibadah yang dilakukan akan mendatangkan kenikmatan setelah ditunaikan sehingga mengantar orang-orang yang berpuasa untuk menjadi pribadi yang pandai mensyukuri nikmat yang tak terhitung (QS 2: 185).
Jika puasa dimaknai sebagai latihan dan pembelajaran yang mampu membantu memahami realitas kemanusiaan dan keilahian serta bagaimana menyerasikan orientasi hubungan yang baik dengan Sang Khaliq dengan hubungan cinta kasih dengan sesama manusia dan mahluk pada umumnya, maka pembelajannya akan mengantar orang-orang yang berpuasa bergerak dalam lintasan petunjuk jalan ilahi sebagai fase tujuan puasa yang ketiga (QS 2:186).
Peningkatan pengetahuan yang disertai kemampuan mensyukuri beragam curahan nikmat yang telah diterima serta mengoptimalkan anugerah kenikmatan tersebut di jalan Ilahi pada akhirnya akan menghantarkan pada tujuan akhir menunaikan puasa, yaitu menjadi pribadi yang bertakwa.
Kualitas takwa inilah yang akan menjadi jembatan kemuliaan umat manusia (QS 2:183). Semoga orang-orang yang berpuasa dengan benar-benar beriman dan mengharap ridoNya akan mampu melewati tangga-tangga ilmu, syukur serta petunjuk dalam menggapai kemuliaan dengan kinerja dan produktivitas sebagai pengejawantahan nilai takwa, insya-Allah. (*)