Berita TerkiniHeadlineNasional

Aliran Dana Pilkada, Dimanakah PPATK?

Pilkada serentak 2020 kali ini digelar di 270 daerah.  Dari jumlah itu, ada 24 pasangan calon tunggal di masing-masing daerah. Dari calon tunggal ini, didominasi petahana yang kembali mengajukan dirinya untuk maju.

Untuk Kaltim, ada dua daerah yang mengusung calon tunggal, yang juga petahana. Yakni, Balikpapan dan Kutai Kertanegara. Pada 9 September 2020, Peneliti Centre for Strategic and International Studies atau CSIS, Arya Fernandes, menganalisis munculnya calon tunggal juga disebabkan karena tingginya biaya politik.

Dari waktu ke waktu angka pasangan calon tunggal dalam Pilkada kian meningkat. Pilkada tahun 2015 pasangan calon tunggal hanya ada di tiga daerah. Kemudian meningkat menjadi sembilan paslon di Pilkada tahun 2017. Tahun berikutnya, pada Pilkada 2018 jumlah calon tunggal kembali naik menjadi 16 pasangan calon. Dan tahun ini, pada Pilkada 2020 kian melonjak menjadi 24 pasangan calon tunggal.

Peningkatan calon tunggal, yang juga didominasi petahana menjadi fenomena yang mengkhawatirkan bagi demokrasi di negeri ini. Petahana sendiri memang memiliki akses sumber daya besar, baik soal uang, jaringan, juga kekuasaan.

Akses ini  membuka celah besar bagi petahana memborong rekomendasi pencalonan dari banyak partai politik, sehingga menutup peluang pencalonan lawannya. Apalagi aturan bagi calon independen semakin sulit. Akibatnya, petahana begitu mudah mengkondisikan situasi untuk menjadi calon tunggal.

Pada 11 September 2020, KPK pernah membeber data mengejutkan. Dari kajian Komisi Pemberantasan Korupsi terungkap bahwa 82 persen calon kepala daerah tidak dibiayai uang sendiri. Melainkan didanai sponsor. Hal itu pernah diungkapka Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers daring, bertajuk, Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi

KPK pun meminta agar penyelenggaran Pilkada 2020 untuk menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Hal ini dilakukan agar bisa menelusuri aliran dana mencurigakan pasangan calon dan politik uang dalam Pilkada tahun ini.

Bagi seorang calon yang akan maju di Pilkada, bukan lagi rahasia lagi, jika untuk mendapatkan SK partai perlu amunisi finansial. Mahar, meski nyaris seluruh partai mengklaim tidak pernah mensyaratkan hal itu, faktanya cost politik itu selalu tinggi. Bahkan, sampai dibiayai sponsor.

Jika dirunut, mata rantainya dari keinginan mendapat SK, dibutuhkan mahar. Lalu, sponsor membantu calon pasangan. Kemudian, saat terpilih menjadi kepala daerah, perlu balas budi kepada sponsor. Karena itu, tidak heran bila kita kerap menyaksikan kepala daerah yang terganjal korupsi. Dari suap proyek sampai mark up anggaran. Bisa jadi, itu dilakukan untuk mengembalikan ongkos politik pada sponsor.

Hal ini seolah roda, yang terus berputar saban perhelatan Pilkada. Terlebih dengan meningkatnya calon tunggal dan dominasi petahana. Mengkonsolidasikan banyak partai, tentu mustahil jika tidak memerlukan biaya politik. Bisa jadi, biaya calon tunggal ini lebih besar dibanding lainnya. Meski memang belum ada investigasi khusus terkait hal ini.

Untuk itu, permintaan KPK agar melibatkan PPATK dalam penelusuran aliran dana Pilkada, menjadi satu oase di tengah keterpurukan rakyat terhadap dinamika politik Indonesia. Terlebih dengan menjamurnya calon tunggal ini, semakin membuat rakyat semakin apatis terhadap Pilkada.

Ramlan Surbakti (2018), menganalisa ada empat pemicu munculnya pasangan calon tunggal. Pertama, parpol peserta pemilu gagal melaksanakan tugas fungsi utamanya untuk melakukan kaderisasi calon pemimpin.

Kedua, proses pencalonan yang diatur di UU Pilkada tidak bersifat terbuka dan kompetitif. Sebab, proses penentuan pasangan calon yang melibatkan anggota dan pimpinan pusat partai lebih kuasa untuk menentukan paslon daripada pemimpin partai tingkat daerah.

Ketiga, komposisi keanggotaan DPRD di seluruh Indonesia yang berdasar partai, cenderung terfragmentasi sehingga jarang satu partai memenuhi ambang batas pencalonan. Konsekuensinya, satu partai harus berkoalisi dengan partai lain. Partai lain bersedia koalisi mendukung paslon, jika sanggup membayar mahar yang disepakati.

Keempat, agar ada kepastian kemenangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, akhirnya menjadi paslon tunggal dan memborong semua partai agar tidak mengajukan paslon yang lain.

Nah, beratnya syarat pencalonan Pilkada bagi kandidat perseorangan yang harus mengumpulkan dukungan 6,5%-10% dari daftar pemilih tetap serta syarat dukungan dari jalur parpol yang tinggi, yakni 20% kursi atau 25% suara sah pemilu menjadi pemicu kuat menjamurnya calon tunggal.

Tren peningkatan calon tunggal dapat berdampak pada kecenderungan terbatasnya peluang bagi tokoh-tokoh masyarakat yang kompeten, tetapi tidak berpartai dan tidak memiliki modal finansial untuk membayar mahar politik.

Maka tidak heran proses pilkada hanya mempertontonkan varian drama oligarki yang menyakitkan rakyat. Pertanyaannya kemudian: beranikah PPATK membuka seluruh aliran dana Pilkada yang mencurigakan? Kita nantikan kiprah mereka.

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button