Vaksin dan Ancamannya
Gelombang penolakan vaksin Sionvac asal Cina terus bergemuruh. Penolakan datang tak hanya dari masyarakat biasa. Bahkan, Mendgari Tito sampai Professor ikut mewanti-wanti keampuhan vaksin Cina. Terlebih vaksin itu justru diujicoba ke rakyat Indonesia.
Dengan kondisi ini, kita ibarat keluar kandang buaya masuk kandang singa. Kita berusaha lepas dari korona tapi masuk dalam ancaman perang dagang vaksin luar negeri.
Dalam akun pribadinya, Professor Yuwono pun menulis:
“Sahabat2ku yg baik, tujuan vaksin digunakan cuma 1 yaitu memicu Imunitas seseorang utk mengatasi infeksi tsb. Jadi bukan vaksin yg mengatasi infeksinya tetapi vaksin memicu Imunitas, lalu Imunitas cukup kuat utk mengatasi Infeksi. Apakah ada cara lain memicu Imunitas selain dg vaksin? jawabnya banyak cara, seperti yg selalu saya bilang yaitu Cukup Tidur, Cukup Makan (Gizi), Cukup Gerak & Pikiran Positif (Tenang). Saya memilih 4 cara ini karena sejak awal bisa saya lakukan & tidak perlu nunggu2 vaksin dari China, Amerika atau Eropa. Bagaimana dg Sahabat2ku?”
Ia juga mengapresiasi usulan dari Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Profesor Amin Soebandrio. Prof Amin menyarankan agar Indonesia menggunakan vaksin buatan dalam negeri. “Kita harus memiliki kedaulatan vaksin. Sama seperti kita sebetulnya harus memiliki juga kedaulatan diagnostik dan sebagainya,” kata Amin dalam Seminar PPRA LX Lemhannas RI, Selasa 21 Juli 2020.
Begitu pula penolakan Prof. Kusnandi yang enggan memenuhi permintaan Jokowi agar pengembangan vaksin bisa segera direalisasikan. Menurutnya, vaksin tidak bisa asal jadi. Banyak waktu dan pertimbangan yang perlu dilakukan.
WHO menyatakan pembuatan vaksin baru bisa memakan waktu 10-15 tahun. Sedangkan pengembangan vaksin yang sudah ada tetap membutuhkan waktu antara 3-5 tahun. Saat ini sudah ada 23 pengembangan vaksin di seluruh dunia yang masuk tahapan uji klinis.
Di antaranya buatan Inggris dan Cina. Di Tanah Air, vaksin yang dikembangkan Lembaga Biomolekuler Eijkman diperkirakan selesai tahun 2021, kemudian baru lah masuk tahap uji klinis.
Mendagri Tito dalam Rapat Kordinasi Pilkada Serentak di Balikpapan, turut mengingatkan. Vaksin asal Cina belum tentu mampu menyembuhkan pasien terpapar korona. Belum tentu juga menghilangkan virusnya dari Indonesia.
Bangsa ini juga beberapa kali memiliki pengalaman pahit terhadap program vaksinasi. Terlebih vaksin impor. Terakhir, vaksin MR yang diimpor dari India. Saat rakyat India menolak untuk diberi vaksin tersebut, Indonesia justru mengimpornya. Alhasil, banyak kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) atau cedera vaksin. Dari demam, ruam, lumpuh, sampai meninggal dunia. Yang sebelumnya sehat-sehat saja.
Ancaman vaksin impor bukan isapan jempol. Apalagi yang memprotesnya para pakar di bidangnya. Optimisme vaksin membuncah hanya karena tim penguji sukses dalam ujicoba yang hanya melibatkan puluhan orang. Kegembiraan terlalu awal ini bisa menjadi bumerang. Pemangku kebijakan hendaknya tetap memberi dukungan lebih besar pada riset-riset sains dalam negeri.
Jangan karena tergiur besarnya fee impor, lantas mengorbankan rakyat Indonesia.