H-45: Pemerintah versus Partai Covid-19
Oleh: SJ Arifin (Peneliti Katalis)
Kemaren Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membuat pengumuman membahagiakan, bahwa pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta telah membuahkan hasil dengan tren penurunan kasus harian. Kurvanya mendekati flat, katanya.
SAYA selalu mendukung setiap harapan digaungkan. Walaupun terasa terlalu dini disampaikan, namun setiap harapan adalah sumber semangat, dan semangat dapat mendorong kinerja. Kadang kita perlu bergantung pada harapan yang agak palsu, semata agar kita punya pijakan semangat.
Grafik 1. Belum flat.
Di sini kita pakai kurva jumlah kasus positif Covid-19 di Jakarta yang hari ini bertambah 133 menjadi 4.002 kasus. Sejak penerapan PSBB di DKI Jakarta tanggal 10 April 2020, angkanya masih terus mendaki. Belum menunjukkan adanya potensi lengkungan di kurva. Seperti apa lengkungan itu?
Mari lihat grafik selanjutnya.
Grafik 2. Kurva China sudah melengkung dan flat
Sebagai pembanding, satu-satunya negara yang kurva kasus Covid-19 nya sudah melengkung, bahkan flat, adalah China. Lihat grafik. Pada awal penerapan lockdown jumlah kasus terus membumbung.
Setelah lockdown diterapkan selama 37 hari baru terlihat kurva melengkung dan mendatar (flat). Semuanya butuh waktu. Kita belum melihat penampakan seperti itu di grafik DKI Jakarta di atas. Baru 18 hari PSBB diterapkan, kita semua berharap menjadi keajaiban seketika…
Grafik 3. Pak Jenderal menggunakan kurva kasus harian
Oke, ternyata yang dipergunakan adalah jumlah kasus harian (new cases). Kurva jumlah kasus harian di DKI Jakarta sekilas memang menunjukkan adanya tren penurunan.
Puncaknya sudah terjadi pada 9 April 2020 dengan 236 kasus. Hingga saat ini jumlah kasus harian di DKI Jakarta selalu di bawah 200. Memang menyenangkan melihat kurva ini. Semoga terus menurun.
Namun ada masalah di sini, yakni ini baru 18 hari. Masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan. Contohnya, Singapura yang sudah melakukan tindakan terperinci selama hampir 2 bulan berhasil mengendalikan penyebaran, tapi kemudian kebobolan di awal April.
Kedua, jumlah Test PCR kita masih rendah. Hingga hari ini baru dilaksanakan 62.544 test PCR secara nasional. Ada kecenderungan pada kasus test PCR yang masih terbatas, jumlah kasus harian masih dipengaruhi berapa jumlah test PCR dilakukan pada hari itu.
Ketiga, jumlah kasus harian setelah 10 April 2020 di DKI Jakarta masih dalam rentang antara 70-196. Bila jumlah kasus harian konsisten di bawah 50 kasus selama 2 minggu berturut-turut. Baru kita sungguh bahagia.
Grafik 4. Kasus Harian China super flat
Selama hampir 50 hari, jumlah kasus harian di China konsisten di bawah 100, kemudian malah di bawah 50 kasus per hari. Hingga akhirnya tanggal 8 April lockdown dicabut. Kita ingin kurva di Jakarta mendekati bentuk ini dulu Pak Jenderal..
Grafik 5. Umpan dari Singapura
Kemaren juga, ada perguruan tinggi dari Singapura (Universitas Teknologi dan Desain Singapura (SUTD) membuat prediksi kapan wabah ini berakhir di seluruh dunia dan di setiap negara, termasuk di Indonesia yang disebut telah melewati puncak dan sedang menurun. Diprediksi bahwa wabah ini di Indonesia akan berkurang hingga 97% pada 26 Mei 2020 dan 99% pada 7 Juni 2020 (lihat grafik). Artinya Juli kita sudah bebas.
Siapa yang tidak senang dengan janji ini. Tapi tetap saja, kesenangan ini hanya cukup untuk memberi semangat, biar kita tidak gila. Apakah kita sudah melewati puncak, sebagaimana hitungan SUTD? Kok tidak terasa ya….janggal
Mengenai prediksi-prediksi para saintis ini, saya sebenarnya sudah kehilangan harapan terhadap mereka. Hampir semua prediksi mereka jauh panggang dari api. Apa tidak sebaiknya kampus-kampus itu meminta maaf kepada publik karena telah menjual film horor….
Grafik 6. IPB dan PTN lain harus evaluasi diri
Satu tim dari IPB membuat prediksi puncak kasus Covid-19 di Jakarta akan mencapai puncak pada 28 April 2020 dengan jumlah orang terinfeksi di Jakarta sebanyak 1.874.005 orang. Wak Labu.
Ini sudah 28 April dan jumlah positif di seluruh Indonesia baru sebesar 9.511 orang (di Jakarta hanya 4.002 orang). Kalian menyebut jumlah unrecorded case jauh lebih besar dari yang terkonfirmasi. Apakah “jauh lebih besar” itu bahasa sains? Kalau jauh… jauhnya itu seberapa Pak?.
Sebagai alat pembanding, jumlah keseluruhan Orang Dalam Pemantauan (ODP) adalah 213.644 orang dan PDP 20.428 orang. Jika semuanya ditotal pun baru mencapai 243.583 orang.
Padahal kita tahu tidak semua PDP, apalagi ODP, akan menjadi positif. Faktanya, dari 62.544 test PCR yang positif hanya 15,21%. Test itu utamanya dilakukan kepada PDP dan ODP. Jelas perhitunganmu salah tuan. Bagaimana pertanggungjawaban ilmiahmu?
Ada lagi hasil prediksi fantastis buatan para ahli epidemiologi dari FKM UI. Mereka menghitung puncak pandemi antara pertengahan Mei 2020.
Jika pemerintah tidak melakukan intervensi apapun maka jumlah terinfeksi akan mencapai 2,5 juta orang dengan tingkat kematian mencapai 240.244 orang (buset).
Bila pemerintah melaksanakan intervensi skala sedang maka jumlah terinfeksi mencapai 1,3 juta orang dengan tingkat kematian 47.984-144.266 orang.
Bila pemerintah melaksanakan intervensi skala tinggi jumlah terinfeksi mencapai 600.000 jiwa dengan kematian 11.898 orang. Melihat tendensinya, para pakar ini nampaknya menilai pemerintah baru pada posisi intervensi sedang. Mari kita saksikan saja akurasinya pada 1 syawal mendatang…
Ada juga hasil keroyokan para peneliti dari berbagai perguruan tinggi yang menyebut dirinya SimcovID team. Semua perguruan tinggi ternama. ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana, juga termasuk peneliti perguruan tinggi luar negeri asal Indonesia yaitu Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.
Mereka prediksikan puncak pandemi pada Agustus 2020 (masih jauh ya) dengan jumlah terinfeksi sebanyak 872.346 orang, 60%nya bakal meninggal dunia, jika pemerintah mengimplementasikan pembatasan sosial (semacam PSBB).
Tetapi jika pemerintah mau memberlakukan karantina wilayah (lockdown) maka jumlah kasus dapat ditekan menjadi 46.425 di Jakarta pada Oktober 2020 (tambah lama saja).
Kelompok ini sudah frustasi karena hasil prediksi dan rekomendasinya diacuhkan pemerintah. Yah mari kita lihat saja. Saya berharap prediksi mereka akan gugur sebagaimana prediksi IPB.
Saya sendiri, dengan keawaman saya, hanya melihat, virus ini belum kalian kuasai semua karakter dan perilakunya. Vaksin pun masih jauh. Banyak variabel yang belum kalian masukkan perhitungan karena masih minimnya pengetahuan kalian akan kinerja debutan baru virus van Wuhan ini. Jadi wajar saja jika ada perhitungan meleset.
Lockdown Gak Bisa MoveOn
Sejak awal opini di negeri ini telah ditarik ke dua arah. Pemerintah keras ke arah Social Distancing. Saintis mendorong ke arah lockdown. Para aktivis dan semi aktivis turut memboyong lockdown.
Mereka yang seumur-umur tidak pernah belajar tentang virus, penyakit, dan prediksi statistik pun turut menjadi ahli pandemi. Belum bajingan sosmed… Udah jadi kayak partai aja ini pendukung Lockdown, Partai Covid-19.
Yang pasti, Social Distancing dan Lockdown itu memang bukan urusan keilmuan belaka. Itu juga menyangkut strategi sosial politik. Dan di situ pemerintah juaranya. Wong mereka yang dipilih rakyat.
Dan pemerintah sudah mengambil jalan PSBB. Tapi kalian masih mencari pembenaran lockdown dari kasus negara-negara kecil seperti Lebanon, Mongolia, Yordania, Kepulauan Faroe dll. Mbok ya move on. Sudah telat itu semua. Yang ada di atas meja hanyalah PSBB.
Dan pelajaran dunia ini pun sudah gamblang. Ada 2 role model. Lockdown dan Social Distancing. Ada lockdown yang berhasil (China) ada pula yang gagal. Ada Social distancing yang berhasil (Korsel), banyak juga yang gagal. Tidak hanya ada satu jalan. Semua tergantung kesungguhan. (*)