Homo Deus versus Fitrah
Oleh: Moksen Idris Sirfefa
“Maka fokuskan pandanganmu kepada agama yang sejati, yaitu fitrah (pola yang pasti), yang mana dengan pola itu Allah ciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada pola Allah itu. Itulah agama yang lurus, cuma kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. 30:30).
AYAT Qur’an di atas menandaskan bahwa manusia adalah makhluk beragama ( homo religius). yang diciptakan sesuai pola (fitrah) yang tak lain adalah al-dîni hanîfan, agama yang sejati. Sebagai manusia yang terpolakan (terfitrahkan), ia butuh makan jika lapar, butuh minum jika haus, butuh tidur jika kantuk, butuh pendamping jika sendiri, butuh bantuan jika tak sanggup dan seterusnya, sehingga manusia tak bisa survive tanpa bantuan pihak-pihak eksternal di luar dirinya.
Ini menandakan bahwa selain sebagai homo religius, manusia juga homo socius. Itulah fitrah atau pola tetap yang tak dapat digantikan dengan pola apapun. Mari kita lihat !
Sudah tiga minggu saya stay at home dan kalau keluar rumah tak lebih dari tiga kilometer. Sesekali bersama istri ke toko ‘sembako’ yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Kini tempat-tempat umum rentan terpapar virus Covid-19, sehingga kami atau mungkin kebanyakan orang berbelanja secara online sebagai cara yang dipandang paling aman.
Aktifitas WFH ( work from home) pun membosankan bahkan bagi pelaku bisnis dan pekerja ojol mengecewakan, karena waktu adalah uang. Kini mereka harus menerima keadaan WFH (waktu fulus hilang) dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Gejala kebosanan ( boredom) yang yang akhir-akhir ini mendera kita “dapat menjadi kesempatan yang bagus bagi anda untuk memroses emosi dan mengajarkan anda untuk merasa nyaman dan percaya diri mengatasi emosi-emosi anda,” demikian Katie Leikam, pemilik True You Southeast, lembaga layanan kesehatan mental yang berpusat di Georgia.
Kebosanan juga dapat memberikan waktu untuk merefleksi diri sendiri seperti kata David Barbour, pendiri perusahaan kesehatan Vivo Lifesciences yang bermarkas di Haiderabad. Tapi anda tahu bahwa kebosanan telah merenggut “kebersamaan” banyak orang dengan adanya social/physical distancing ini.
Ketika orang-orang di seluruh dunia harus tetap berada di rumah untuk mengendalikan pandemi Covid-19, sebuah penderitaan lain yang mempunyai tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan virus apapun, yakni kebosanan, tulis Raj Persaud, seorang psikiater di London pada laman Project Syndicate, 3 April 2020 lalu.
Para psikoanalis percaya bahwa kebosanan yang mencengkeram bisa membawa manusia pada kondisi neurotik yang disebut alysosis, misalnya ketidakpuasan di tempat kerja yang membuat seseorang merasa bosan dengan kondisi di kantornya.
Tetapi ketika ia sering menyendiri, jarang masuk kantor dan lebih suka menghabiskan waktunya di kafe, lama-lama kemonotonannya itu menjadi epidemi yang berbahaya.
Hari-hari belakang ini kita bangun pagi sarapan, baca buku, bersih-bersih, main gem, WFH, rapat daring, shalat (berdoa) dilakukan di rumah. Tiga minggu yang membosankan itu di dalam psikologi disebut “kebosanan waktu luang.”
Berbagai cara menepis kebosanan di situasi lockdown ini, mendorong JK Rowling harus memuaskan para muggle (orang tak berkemampuan sihir) untuk dapat menikmati serial Harry Potter dari rumah dengan membuat situs web Hogwarts yang lebih sophisticated agar para orang tua, guru, dan pengasuh dapat membuat anak-anak tetap ceria.
Ini adalah satu dari berbagai cara yang dilakukan manusia untuk menepis naluri dasar rasa takut ( basic fear) tentang kematian akibat wabah Covid-19 ini.
Manusia memanfaatkan teknologi untuk memudahkan urusannya. Selaku makhluk berakal (homo sapiens), manusia melakukan lompatan peradaban dari satu fase ke fase berikutnya sebagai pertanda ia satu-satunya penguasa planet ini.
Dengan demikian, kematian yang terjadi di planet ini sejatinya bisa diatasi. Perang melawan kematian hanyalah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan manusia sepanjang zaman untuk tetap fit (ingat survival of the fittest-nya Darwin).
Sejak pertama kali manusia menemukan jejak peradaban orang Samaria di lembah Mesopotamia tentang teknik bercocok tanam hingga peradaban Google di lembah Silikon tentang teknik bagaimana manusia tidak mati (immortality), dimana proyek “membunuh kematian” ini memungkinkan manusia bisa hidup 500 tahun.
Satu-satunya cara manusia menggantungkan kebutuhan sekaligus kegalauan hidupnya adalah kepada gadget, Tuhan yang ia ciptakan sendiri (Homo Deus), ungkap Harari. Anak-anak sekolah zaman sekarang tidak perlu membawa banyak buku ke sekolah, karena ia bisa memperoleh informasi apa saja lewat handphone ( hp), alat komunikasi super praktis.
Semakin canggih hp-nya, semakin mendongkrak diginisitasnya. Orang tua pun lebih banyak khawatir ketinggalan hp-nya ketimbang khawatir ketinggalan waktu shalatnya. Teknologi yang satu ini sangat akrab dengan diri kita dibandingkan anggota keluarga sendiri. Ia menghilangkan nilai kebersamaan dan keakraban serta lebih berorientasi individualistis dan maha kuasa.
Di sisi lain, perkembangan teknologi big data, membuat setiap sentuhan kita dengan layar internet, secara otomatis kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada penyedia layanan, bagaikan kita berserah diri kepada Sang Pencipta saat membaca doa iftitah.
Google mungkin lebih tahu soal diri kita ketimbang pasangan kita sendiri. Selain mengetahui apa-apa saja yang kita cari di mesin perambah, Google tahu kita ke mana saja hari ini, apa yang kita beli, video apa yang kita tonton di YouTube dan dengan siapa saja kita berkomunikasi.
Sementara Facebook bahkan sudah membangun database diri kita mulai dari saat kita membuat akun: dimulai dari nama, tanggal lahir, alamat surel, atau nomor telepon. Axios juga mendaftar apa-apa saja yang diketahui Facebook tentang kita, termasuk menarik metadata dari foto yang kita unggah dan mampu menemukan lokasi kita meskipun sedang offline.
Tegasnya menguntit seseorang secara digital kini semakin mudah, maka menghilangkan jejak digital dari dunia maya pun menjadi kian susah. Google dan Facebook telah menggantikan malaikat Rakib dan Atid sedangkan pemiliknya sendiri menjadi Deus.
Mengapa manusia harus didera kebosanan meski telah terbantukan oleh kemudahan teknologi? Tuhan ingin mencoba, apakah manusia mampu bertahan dengan social distancing-nya? Apakah manusia mampu bertahan dengan “kesendirian”-nya? Tidak ! Tuhan menurunkan hikmah-Nya melalui wabah Covid-19, agar manusia sadar bahwa ia tidak bisa hidup sendiri hanya dengan mengandalkan kemudahan teknologi yang maha kuasa itu.
Justru manusia akan bosan, stres dan mati karena melanggar fitrahnya sebagai homo socius. Karena ketika mati pun, bukanlah kesendirian yang berperan secara teknis, melainkan kebersamaan. Bukanlah individualitas yang mengandalkan teknologi melainkan sosialitas yang meniscayakan fitrah kemanusiaan.
Tabik!
Ciputat, 12 April 2020.
Penulis adalah Ketua Bidang Agama dan Ideologi Majelis Nasional Korps Alumni HMI (Kahmi) Periode 2017-2022.