Ketika manusia lebih percaya pada kutipan-kutipan ketimbang pikirannya sendiri, rasanya masa depan budaya itu hanya menghitung hari. Entah sampai kapan. Mungkin sampai Tuhan merenggut leher siapa saja yang masih hidup. Lalu Mati!
Dan, sejarawan pun heboh. Mereka sibuk merangkai fakta-fakta diatas dunia yang mati akibat warganya telah membunuh pikirannya sendiri. Tidak hanya sejarawan, tapi juga para penulis di dunia hewan akan mencatat peristiwa kebudayaan itu sebagai babakan baru dalam perjalanan kosmos itu.
Sayangnya, kejadian mahabesar itu justru dimulai dari kampus-kampus yang dikenal tempat kumpulan otak-otak manusia. Bukan di warung-warung kopi, tempat manusia kebanyakan bersantai ria.
Para profesor di kampus-kampus itu sibuk ramai-ramai belajar bagaimana cara mengutip yang rapi, namun sekaligus seksi. Dengan begitu seolah jadi pendapatnya sendiri. Mereka merasa selesai melaksanakan tugas kehidupan setelah berhasil membunuh pikirannya sendiri.
Padahal ilmu itu bergerak dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Keduanya saling berdebat, memperdebatkan, diperdebatkan, dibantah, diperbantahkan, hingga benturan ilmu-ilmu itu terjadi. Benturan keraslah yang kemudian melahirkan semangat pentingnya inovasi dan kreativitas antarilmu itu sendiri.
Oleh karena itu, jika kampus sebagai tempat pengembangan budaya ilmu pengetahuan seharusnya dipenuhi oleh orang-orang yang berpikir, bukan kumpulan robot-robot yang mati.
Kampus Merdeka
Adalah Nadiem anak muda yang jenius itu kini jadi Menteri yang mengurus pikiran rakyat 270 juta jiwa. Ia dipercaya karena telah berhasil membawa paksa para pengangguran memenuhi jalan-jalan yang ruwet di kota Jakarta.
Ketika Covid-19 datang, mereka semua langsung dinilai sebagai manusia yang paling utama layak dikasihani. Covid 19 telah mengubah manusia puncak ciptaan Tuhan itu, hidupnya bergantung hari dan belas kasihan kaum dermawan. Dan ini adalah sukses pertama Nadiem dalam sejarah mengatasi kemiskinan dengan memaksa kaum pengangguran menjadi anak-anak jalanan yang rentan.
Mas Menteri, demikian anak pengacara kondang ini dipanggil, memang sangat berharga. Ia datang merombak tradisi pendidikan yang sudah beku. Ia lontarkan ide kampus merdeka. Entah apanya yang merdeka; saya tidak tahu dengan pasti.
Setahu saya kemerdekaan itu dibutuhkan untuk kembali menggunakan semaksimal mungkin pikiran-pikiran tanpa tekanan. Sebab hanya pikiran dan perasaan yang bebas yang bisa melahirkan kebudayaan.
Sedang kebudayaan itu sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap yang benar manusia pada Tuhannya, sesamanya dan lingkungannya. Dan semua itu dimulai dari pikiran, bukan dari kutipan!!!!
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Sumber: ngopibareng.id