Islam dan Jatidiri Amerika
Oleh: Moksen Idris Sirfefa *
Musim dingin, 9 Desember 2013 saya mengambil kesempatan mengunjungi Islamic Center of Washington DC (ICDC) yang jaraknya sekitar dua ratus meteran sejalur dengan kantor Kedubes Indonesia di Massachussetts Ave, Washington DC.
Saya ingin menyaksikan dari dekat betapa tempat itu bersejarah bagi umat Islam Amerika. Di tempat ini pada 28 Juni 1957, Presiden Dwight D Eisenhower (Presiden ke-34) meresmikan masjid di jantung ibukota Amerika Serikat itu dengan kata-kata :
“Bertemu dengan kalian sekarang di hadapan salah satu bangunan paling baru dan paling indah di Washington, rasanya sesuai jika kita mengabadikan diri kembali pada kemajuan damai semua orang di bawah Tuhan Yang Maha Esa. Dan saya ingin meyakinkan Anda, teman-teman saya yang Islam, bahwa di bawah Konstitusi Amerika, dibawah tradisi Amerika dan di dalam hati Amerika, Pusat ini (Islamic center –pen), tempat ibadah ini, sama mendapat sambutan sebisa-bisanya sebagaimana bangunan besar serupa dari agama lain manapun. Bahkan Amerika akan berjuang dengan seluruh kekuatannya demi hak Anda untuk memiliki gereja (maksudnya : masjid – pen) anda sendiri disini dan beribadah menurut hati nurani Anda sendiri. Konsep tersebuit memang bagian dari Amerika, dan tanpa konsep tersebut kita akan menjadi sesuatu yang lain daripada kita yang sekarang.”
Di tempat ini juga pada 17 September 2001, tepat seminggu setelah peristiwa “9/11”, Presiden George Walker Bush berpidato. Dalam pidatonya, Presiden ke-43 AS itu menegaskan bahwa Muslim AS adalah bagian dari AS dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama setara dengan warga AS lainnya.
Pidato Bush itu berhasil mendinginkan situasi tatkala umat Islam dipandang biang kerok peristiwa itu. Ketakutan terhadap Islam yang secepat menjalar kemana-mana pun mulai berkurang.
Ketika Obama tampil menjadi presiden ke-44 AS dan saat kunjungan perdananya ke Timur Tengah pada April 2009, ia berpidato di depan parlemen Turki : “…United States was not, and never will be, at war with Islam..” (Amerika Serikat tidak, dan tak akan pernah, berperang dengan Islam).
Kesan menarik yang saya alami, seorang petugas kulit hitam dari aviation security setelah mengecek surat-surat saya di bandara JFK New York, dia menyapa assalamu alaikum, mungkin setelah dia tahu bahwa saya Muslim.
Di tahun 2013 itu, publik Amerika dikenalkan dengan sebuah buku yang ditulis oleh Denise A. Spellberg, seorang profesor wanita Amerika terkemuka dalam kajian sejarah Islam dan Timur Tengah dari Universitas Texas, Austin. Thomas Jefferson’s Qur’an Islam and the Founders, demikian judul asli buku itu yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kontroversi Al-Qur’an Thomas Jefferson”, Pustaka Alfabet Ciputat, 2014. Sampul buku edisi Inggris maupun Indonesia berbeda, namun sama-sama menonjolkan sosok presiden Amerika Serikat ke-3 itu.
Poster sosok pendiri Amerika itu juga yang saya temui di papan pengumuman masjid Islamic Center of Southern California (ICSC) Vermonte Ave, Los Angeles empat hari kemudian. Buku Spellberg lagi menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam Amerika. Haji Cali, petugas dari Konjen Los Angeles yang menjadi sopir kami sepanjang jalan menceritakan betapa Amerika adalah sebuah negara islami.
Saya terperangah, “Islam?” Dia jawab “ya” sementara saya masih tetap penasaran karena dimana-mana terlihat bangunan gereja dan sinagog. Kami singgah sejenak shalat Dhuhur di Islamic Center setelah berdiskusi dengan pihak senat Universitas Southern California (USC) tentang kerjasama pendidikan.
Menjelang sore setelah menggunjungi Hollywood Sign, kami turun dan menjelajah Walk of Femme, kurang lebih dua jam. Ketika siap-siap kembali ke penginapan, seorang kawan yang tak saya sebutkan namanya disini, baru sadar kalau amplop coklatnya yang masih berlogo burung garuda di saku celananya berpindah tempat entah kemana. Kami semua dibuat sibuk mencari di sela-sela yang fun kami tumpangi.
Sebagian menjejali koridor dan toko yang tadi kami kunjungi, tapi sia-sia. Setelah kami sarankan untuk dia mengingat ulang dimana kira-kira dia singgah. Pelan-pelan akhirnya dia ingat salah satu toko di ujung sana.
Ketika memasuki toko itu, pemilik tokonya tersenyum dan mengatakan amplopnya sudah diamankan. Rupanya amplop yang berisi $500 itu tercecer di ruang pas saat fitting jas yang tidak jadi dibelinya. Dari kejadian ini saya teringat kata-kata Haji Cali siang tadi.
Presiden Amerika ke-26 (1882-1945, Franklin D. Roosevelt pernah berkata, “ingat-ingatlah selalu bahwa kita semua, Anda dan saya khususnya adalam keturunan dari imigran dan kaum revolusioner.”
Orang-orang Eropa dan Afrika yang masuk ke Amerika pertama melalui Ellis Island, sebuah pulau kecil di seberang kota New York yang kemudian dibangun patung lady Liberty menjadi simbol Amerika sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kebebasan bagi setiap manusia, apapun latar belakangnya.
Hingga kini, Ellis Island Honor Award selalu diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa dalam memelopori nilai-nilai kebersamaan, persatuan dan kemanusian. Dari kalangan Muslim antara lain, petinju legendaris Muhammad Ali dan Imam Syamsi Ali, putra Tana-Toa Bulukumba Sulawesi Selatan yang menjadi imam masjid Almamoor (Jamaica Center) di kota New York.
Latar belakangnya mengapa Amerika (yang tercermin dari beberapa potongan pidato presidennya) selalu menjunjung tinggi kebebasan dan toleransi? Hal itu tidak terlepas dari apa yang disebut American Dreams, impian Amerika.
Karena negara itu didirikan oleh para imigran kulit putih Eropa yang datang bersama penemu Amerika, Columbus, mesikipun sebuah penelitian dari Fareed H Numan bahwa para pelaut muslim dari Afrika Barat yang pertama menemukan benua itu.
Kemudian sekitar 1600 hingga 1800 penduduk kulit hitam dari Afrika Barat dibawa ke Amerika dijadikan budak dan dipaksa bekerja di perkebunan milik orang kulit putih. Para warga kulit hitam yang mayoritas Muslim Afrika Barat ini di sela-sela pekerjaan mereka sering melantunkankan nada-nada pelipur lara ( batogal) pertanda kerinduan pada kampung halaman. Di belakang hari, nada-nada itu dikenal sebagai American blues.
Kedatangan kaum kulit putih Eropa ke Amerika bukan semata-mata mengejar peluang ekonomi tapi salah satu motif mendasar adalah eksodus dari “penganiayaan” gereja di Eropa. Jadi benar apa yang dikatakan Roosevelt di atas bahwa nenek moyang mereka para imigran itu adalah kaum revolusioner, karena berontak melawan kesewenang-wenangan gereja yang terkooptasi oleh kerajaan (Inggris) atau kerajaan yang sewenang-wenang terhadap negara-negara koloni.
Tuntutan pihak oposisi mendesak parlemen untuk mencabut pajak atas sejumlah barang yang diimpor ke koloni ditolak, kecuali pajak atas teh. Hal itu memicu unjuk rasa buruh di pelabuhan. Mereka merangsek naik ke atas kapal Inggris dan membuang semua kargo teh ke laut. Kerajaan Inggris kemudian menjebloskan para pengunjuk rasa itu ke dalam penjara. Hukuman itu mendorong para koloni untuk bersatu padu melawan keraaan Inggris yang sudah dianggap tak adil.
Pada 1774 delegasi semua koloni, kecuali Georgia, berkumpul dalam Kongres Kontinenal pertama di Philadelphia. Kongres menghasilkan kesepakatan agar koloni-koloni tersebut tidak berdagang barang-barang dari Inggris. Saat itu juga terjadi perang Revolusi antara koloni Massachussets dan pasukan Inggris.
Koloni-koloni yang tergabung dalam Kongres Kontinental membantu Massachussetts menghadapi Inggris. Adalah Richard Henry Lee dari Virginia pada 7 Juni 1774 memperkenalkan resolusi di Kongres. Tuntutannya, koloni-koloni Inggris itu harus bebas dan merdeka. Saat itu untuk pertama kalinya nama “the United States of America” disebut dalam dokumen.
Thomas Jefferson dipercayakan untuk membuat naskah resolusi. Ia menghabiskan waktu dua minggu untuk menyusun resolusi itu, sementara Benjamin Franklin dan John Adams melakukan sejumlah perubahan gaya bahasa. Pada tanggal 2 Juli 1776, Kongres menyetujui “Resolusi Lee” dan pada 4 Juli 1776, Kongres mensahkan naskah terakhir Deklarasi Kemerdekaan. Naskah itu dibacakan di hadapan orang banyak di halaman Gedung Negara ( State House) pada 8 Juli dan akhirnya ditandatangani oleh 56 anggota Kongres pada 2 Agustus 1776.
Sejarah Amerika banyak diwarnai dengan pengaruh Islam yang kental gegara Jefferson, baik dalam kehidupan politik maupun sosial-budaya. Hal yang di belakang hari menjadi alat propaganda lawan-lawan politik yang juga adalah rekan-rekannya. Dalam kampanye presiden 1800-1801, inilah “kampanye kotor” pertama dalam sejarah pemilu Amerika.
Lawan-lawan politik Jefferson antara lain John Adams dan kelompok federalis menuduh rivalnya ini sebagai “seorang Muslim”, “kafir”, “seorang penganut agama yang menentang agama Kristen. Hal itu dilakukan untuk memancing emosi rakyat Amerika untuk tidak memilih Jeferson lagi. Tetapi usaha mereka sia-sia, Jefferson tetap melenggang sampai 1809 sebagai presiden Amerika.
Thomas Jefferson merangkai Deklarasi Kemerdekaan Amerika terinspirasi dengan Al-Qur’an. Ia memesan salinan Al-Qur’an pada 1765, 11 tahun sebelum ia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan. Ia memmbeli salinan terjemahan Al-Qur’an yang ditulis George Sale di sebuah toko buku di Duke of Gloucester Street, London dan mengirimkannya ke Virginia. Buku itu adalah terjemahan Al-Qur’an terbaik ke bahasa Inggris pada masanya. Pun deklarasi ini memiliki persamaan dengan Piagam Madinah. Salah satu isinya terkait pluralitas dan persatuan melawan ancaman dari luar, juga perlindungan bagi kaum minoritas.
Tak diketahui pasti apakah Jefferson akrab dengan Piagam Madinah yang disusun Nabi Muhammad S.a.w pada tahun 622 Masehi yang oleh Robert N. Bellah sebagai “terlalu modern untuk zamannya”? Tetapi diduga kuat, nilai-nilai pluralitas yang dituangkannya di dalam Deklarasi Kemerdekaan terinspirasi dari Al-Qur’an miliknya, antara lain surat Al-Baqarah ayat 62 :
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin (Islam), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi-nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau menyembah dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kiamat dan berbuat kebaikan (amal saleh), mereka akan menerima pahala (reward) dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Sejarah Amerika memang membutuhkan seorang Thomas Jefferson. Ia adalah penganut deisme-unitarianisme, paham Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi menolak agama-agama formal dan lebih mengedepankan kesalehan/agama pribadi ( personal piety) seperti kebebasan, keadilan, toleransi dan merangkul semua orang.
Mungkin istilah yang lebih tepat bagi penganut deisme-unitarianisme ini adalah kaum Sabi’in. Nilai-nilai yang kemudian diklaim sebagai American Values itulah yang disebut dengan kesejatian Amerika ( true American values) dan hal itu di belakang hari semakin menemukan persenyawaan kimiawinya dengan Islam, seperti yang diakui oleh Lipmann :
“The newest territory for expansion of Islam is the United States, where it is one of the fastest-growing and most vigorous religions, claiming about two million adherents, ten times number a decade ago” (Wilayah terbaru untuk perkembangan Islam ialah Amerika Serikat, dimana ia merupakan salah satu agama yang paling cepat berkembang dan paling bersemangat, mengklaim sekitar dua juta pemeluk, sepuluh kali lipat jumlah satu dasawarsa yang lalu). (Thomas W. Lippman, Understanding Islam, New York, Mentor Book, 1990, h. 134).
Kesadaran tentang kesejatian Amerika yang Islami dipantik oleh Keith Ellison pada Januari 2007. Ia adalah Muslim pertama yang terpilih menjadi anggota kongres di negara itu dan memilih dua edisi Al-Qur’an milik Jefferson sebagai landasan penghambilan sumpahnya. Publik Amerika benar-benar terkaget-kaget dengan kenyataan itu. Inilah “ancaman” terutama bagi para penganut Kristen garis keras bahwa negara itu akan kehilangan kekristenannya. Padahal seandainya jika mereka tahu bahwa para pendiri Amerika awal telah memasukkan keberadaan Muslim Amerika di tahun 1788 sebagai warganegara dalam penyusunan konstitusi, mereka tidak perlu shock dan reaktif secara berlebihan.
Penulis: Pengkaji Islam dan Kebudayaan/Ciputat, 14052020