Serangan Kilat di Tengah Pandemik
Oleh: Zainal Bintang
DIMOTORI enam parpol koalisi pemerintah, PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP ditambah dua parpol penggembira PD (Partai Demokrat) dan PAN (Partai Amanat Nasional), sidang pleno DPR RI, Selasa sore (12/05/2020) mengetuk palu tanda persetujuan Perppu Nomor 1/2020 sah menjadi UU. PKS satu-satunya fraksi yang menolak.
Peningkatan kelas Perppu menjadi UU mengharuskan penggugat mengubah objek gugatan ke UU itu.
Gambaran di atas menandakan tingginya tempo permainan yang diperagakan “duet maut” legislatif (koalisi pendukung pemerintah) dengan eksekutif (pemerintah) untuk mengegolkan Perppu menjadi UU yang “kebal peluru”.
Cara kerja persepakatan legislatif dan eksekutif yang serba kilat itu, menyerupai taktik perang dalam militer yang disebut “serangan kilat” atau blitzkrieg.
Jalan terjal Perppu dipilih untuk menyingkat waktu pembahasan.
Akan makan waktu jika melalui mekanisme konvensional sebagai inisiatif pemerintah.
Proses UU itu rampung dalam waktu relatif 30 hari hari kerja (dipotong enam hari Sabtu dan hari Minggu).
Keduanya, (legislatif dan eksekutif) bersepakat berpragmatis, bersekutu membangun konspirasi politik “bebas hambatan”.
Kompromi politik pragmatis itu menghina akal sehat karena menafikan peran penting check & balance sebagai koridor kontrol yang diniscayakan konstitusi.
Protes keras berbagai kalangan, baik pakar berbagai cabang ilmu dan sejumlah aktivis maupun pegiat demokrasi senior bermunculan sahut menyahut.
Kelahiran UU yang mengandung cacat bawaan itu memuat setidaknya ada tiga kontroversi.
Pertama, UU baru melalui pasal 27 memberi imunitas aparat pengelola dana bebas dari tuntutan hukum.
Kedua, UU baru memperlebar defisit APBN yang semula hanya 3 persen kini boleh 5 persen sampai tahun 2023.
Ketiga, dengan UU baru itu, pemerintah dapat “memaksa” BI membeli surat-surat utang negara di pasar primer. Tidak lagi harus membeli lewat investor di pasar sekunder.
Jurus “serangan kilat” itu melegitimasi ketidaklasiman di dalam mekanisme pembentukan undang undang dengan perluasan otoritas pemerintah yang menabrak koridor.
Pemerintah ke depannya akan menggenggam kekuasaan absolut untuk membuat serangkaian kebijakan strategis ke depan yang bebas hambatan. Isu penanggulangan wabah Covid 19 menjadi pintu masuk lahirnya Perppu sapu jagat.
Pemerintah menciptakan sendiri untuk dirinya kekuasaan besar dengan “membungkam” anggota legislatif.
Kekuasaan mutlak mengatur pengelolaan negara dengan jalan “mematikan” peran penting wakil rakyat secara tragis.
Mengapa anggota DPR itu rela “pasang badan”? Jawabannya singkat tidak jauh dari pakem there is no free lunch (tidak ada makan siang gratis).
Desakan akan kebutuhan dana besar untuk penyelamatan nyawa rakyat dari cengkeraman wabah (pandemik) dan ancaman mati kelaparan (ekonomi), menjadi mantra sakti negara untuk memainkan “serangan kilat”.
Di balik itu kacamata kritis publik yang berada di luar panggung kekuasaan, dengan gamblang menuduh pemerintah menggunakan isu pandemik sebagai kesempatan emas (gold opportunity) untuk menutupi kegagalan kebijakan ekonomi tahun tahun sebelumnya.
Seperti yang dikatakan Rizal Ramli, aktivis senior dan ekonom papan atas, itu semua itu adalah ulah “menteri keuangan terbalik”.
Apapun itu tetap penting untuk dipersoalkan perihal senyapnya suara legislator.
Ketidak nyaringan suara representasi aspirasi rakyat membuahkan kekecewaan dan kecemasan.
Dasar kekecewaan karena tidak terpantulkannya suara akar rumput pemberi warna proses demokratisasi dalam pembentukan undang-undang. Dasar kecemasan dikarenakan semakin kuatnya semangat kompromistis-pragmatis para wakil rakyat.
Hal mana mendorong menumpuknya kekuasaan ke dalam satu tangan: eksekutif!
Keterpusatan kekuasaan satu tangan eksekutif (pemerintah) adalah penjelmaan otoritarianisme: musuh utama demokrasi! Wakil rakyat yang terhormat jika cukup terdidik baik soal politik, sepatutnya sangat paham hal ini.
Di alam demokrasi yang membuka kebebasan bersuara di ruang publik, sangat banyak dijumpai pandangan yang menyebutkan: wakil rakyat kini bermutasi menjadi malin kundang politik ; membuang ke tong sampah semua janji kampanye ; meminggirkan aspirasi pemberi mandat ; mempermainkan pemilik kedaulatan setelah menungganginya habis-habisan ketika pemilu ; membangun kemewahan hidup yang menjauhkannya dari rakyat.
Mantan Wakil Ketua DPR RI (2009-2014)
Pramono Anung, – sekarang Sekertaris Kabinet – sudah mengingatkan sejak 2013 ketika promosi doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengatakan “kinerja DPR RI ke depan akan diwarnai pragmatisme politik menyusul semakin banyaknya pengusaha dan selebritis yang menjadi anggota DPR RI”.
Lembaga survei pernah mengungkapkan, mayoritas wakil rakyat yang direkrut parpol tidak didasari standar kompetensi.
Lebih dipengaruhi subjektifitas ketua umum plus adanya mental transaksional saudagar yang dikemas dalam frasa: waninya piro?
Ini berarti ada yang salah di dalam cara kita berpolitik selama ini.
Karena yang lebih dirasakan adalah mengerasnya praktik pembunuhan demokrasi oleh demokrasi palsu!
Seorang aktivis senior mengirimkan pesan WhatsApp pada saat sahur : Apakah hal ini tepat jika disebut sebagai kutukan reformasi?. (*)
Penulis adalah Wartawan Senior, Pemerhati Masalah Sosial Budaya