Oleh: Moksen Idris Sirfefa
Mawlana Rumi dalam Fihi Ma Fihi menyetir sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda: “apabila salah seorang dari kalian berkelahi dengan saudaranya yang muslim, hendaklah ia menghindari bagian wajah, karena Tuhan telah menciptakan Adam dalam rupa Citra-Nya.” Tradisi Kristen menyebutnya ‘Citra Allah’ ( Imago Dei).
Al-Qur’an menyebutnya ciptaan terbaik (ahsani taqwîm), namun manusia dapat mengalami keterpurukan (asfala sâfilîn) karena tidak patuh. Dia akan kembali ke posisi terbaiknya apabila beriman dan melakukan kebaikan-kebaikan (Qs. 95 : 4-5).
Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki potensi ahsani taqwîm, tetapi potensi itu bisa terdegradasi karena ia tidak beriman dan berbuat kebaikan.
Dengan demikian, beriman dan berbuat kebaikan sebenarnya taken for granted bagi manusia yang tak lain adalah makhluk yang Tuhaniah.
Ia adalah “pengganti Tuhan” di muka bumi ( khalâifa fi al-a rdhi), maka tidak salah jika hadits Qudsi mengungkapkan manusia diciptakan sesuai “gambar” Sang Pengasih. ( khalaqa âdama ‘alâ shûrati al-Rahmâni). Perkataan “gambar” atau “citra” ( shûrah) tersirat di dalam Qur’an : “fî ayyi shûratin mâsyâ-a rakkabak” (dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki. Dia menyusun tubuhmu (Qs. 82 : 8).
Dengan kata lain, Tuhan menyesuaikan ciptaan-Nya (manusia) dengan citra Diri-Nya. Itu sebabnya, dalam kesimpulan tulisan saya yang lalu, Tuhan menghendaki manusia “menjadi” Diri-Nya melalui perintah puasa.
Kedudukan manusia yang tinggi dapat dipertahankan apabila ia meningkatkan kualitas rohaninya. Dan taqwá adalah idiom Qur’an bagi mereka yang memiliki kualitas rohani itu.
Semua ibadah pokok dalam Islam, termasuk puasa, diakhiri dengan harapan agar manusia taqwá dan tetap berada di jalur yang konsisten (shirâth al-mustaqîm).
Ukuran kemuliaan ( karâmah) seseorang juga bukan karena warna kulit atau asal-usulnya tetapi karena ke-taqwá-annya (Qs. 49 : 13). Jadi, taqwá adalah best achievement yang membuat manusia dipandang mulia di hadapan Tuhan.
Ibadah puasa adalah upaya kita untuk meraih kemuliaan yang pada dasarnya bersifat taken for granted juga. Coba dibayangkan, belum cukup dengan ahsani taqwîm, manusia secara fitrah di- keramat-kan.
“Walaqad karramnâ baní ãdama …wafadhalnâhum ‘alá katsîrin min-man khalaqnâ tafdhîlá” (Sungguh Kami muliakan keturunan Adam …dan melebihkan mereka dari semua makhluk dengan kelebihan yang sempurna (Qs. 17 : 70). Kelebihan apakah yang dimaksud di dalam ayat tersebut?
Para Nabi memang diberi kekuatan mukjizat sebagai instrumen untuk meyakinkan pengikutnya agar percaya terhadap “berita” ( nabá) yang datang dari Tuhan. Tetapi bukan berarti selain Nabi tidak memiliki keistimewaan apa-apa.
Bukankah Tuhan telah meng- keramat-kan manusia dan melebihkannya dari makhluk yang lain (termasuk malaikat) dengan kelebihan yang sempurna? Mereka adalah para hamba saleh yang diangkat Tuhan sebagai teman-Nya (awliyâ’) bukan karena kekayaan dan asal-usulnya tetapi ke- taqwá-annya (Qs. 10 : 62).
Lihat saja, setiap Zakariya masuk ke tempat Maryam berdoa ( mihrâb), ia selalu mendapatkan buah-buahan segar di tempat keponakannya itu. Atau para pemuda yang tertidur di dalam gua (kahf/cave), akhirnya bisa bangun dan membeli makanan di kota dengan uang koin yang expired 309 tahun yang lalu.
Mari kita tingkatkan kualitas rohani kita dengan berpuasa, agar hawa nafsu yang kita pertuhankan (al-takhadza ilâhahú hawá/Qs. 25 : 43) dibakar di tungku pembakaran (ramadhân). Mari kita mengisi ruang rohani yang kosong dan mengurangi beban ruang jasmani kita yang over capacity ini dengan santapan kejiwaan.
Hanya dengan cara itu, kita memperoleh keseimbangan hidup, menjadi homo religius yang mengandalkan hidup kita digerakkan oleh ruh (Qs 58 : 22).
Ruh yang bisa dikelola terkait dengan ibadah puasa – meminjam Syekh Abdul Qâdir Jailâní — adalah ruh jusmâní, yaitu ruh yang menempati antara daging dan darah. Keutamaan pengelolaan ruh jusmâní adalah derajat kewalian.
Ruh jusmâní mendorong pemakai pada penyingkapan tabir (mukâsyafah) dan penyaksian (musyâhadah) segala rahasia Tuhan di Alam Mulk. Menurut peletak teori ruh dua ratus tahun sebelum Ibn al-Qayyîm al-Jawziyyah ini, mereka yang memiliki kekuatan ruh jusmâní, dianugerahi karâmah, seperti berjalan di atas air, terbang di angkasa, ilmu melipat bumi (dapat memendekkan jarak), mendengar dari jarak yang sangat jauh, melihat rahasia tubuh, dan lain sebagainya. Mereka adalah kaum super-eksklusif (al-khawâsh al-khawâsh) menurut kategori Al-Ghazali.
Tetapi sebagai pembelajar dari golongan umum (al-awwâm), atau naik setingkat golongan khusus ( al-khawâsh), saya ingin mengajak para pembaca untuk melihat diri kita bagaikan sebuah handphone atau notebook dengan kapasitas ram ( random acces memory) 2GB.
Meski ram-nya kecil, kita bernafsu men-download beragam aplikasi melebihi kemampuan ram-nya. Otomatis memory task manager-nya penuh, maka gerak-langkah kita menjadi lambat, “lemot” bahkan hang.
Kita tidak bisa bergerak lebih advanced karena sistem kerja kita nge-lag di saat keinginan-keinginan untuk melakukan ini-itu membuncah jiwa.
Untuk menormalkan kembali hp tersebut, jalan satu-satunya adalah membersihkan dan menyucikannya dengan teknik scanning agar beban kerja hp menjadi ringan dan memiliki ruang gerak yang luas untuk beroperasi secara normal.
Saudara, shâimun, anda sedang mencari cara memperoleh orisinalitas (asal) diri Anda. Puasa adalah upaya menapaki via purgativa ke alam Lahût, alam Alastu.
Puasa adalah teknologi rohani yang memurnikan diri anda ke taraf normal selaku manusia sempurna (al-insân al-kâmil) yang mengenal jatidirinya. Kini segalanya bisa diraih.
Anda bisa melipat dunia dengan daya jelajah rohani (spiritual searching) yang tak berbatas. Ghazali maupun Rumi berpesan, jika anda mampu meningkatkan kualitas rohanimu, anda melebihi malaikat.
Tabik! Ciputat, 2 Mei 2020.
Penulis: Ketua Bidang Agama dan Ideologi Majelis Nasional Kahmi 2017-2022.