HeadlineKolom

Revitalisasi Jalur Rempah Indonesia

Oleh: Moksen Idris Sirfefa

Nusantara (kini Indonesia) pada abad ke-16 bukan saja sebagai pusat rempah ( spice roots) tapi juga merupakan jalur rempah ( spice route) yang menghubungkan tiga kawasan penting dunia; Pasifik, Atlantik dan Mediterania.

Komoditas ekonomi yang merajai dunia saat itu hanyalah rempah-rempah dan Indonesia adalah sentrumnya. Rempah-rempah di era itu berperan mempengaruhi keputusan-keputusan penting di bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya dalam skala global. Sebagai axis perdagangan global hingga abad ke-19, penduduk Nusantara hanya menjadi pemasok dengan imbalan yang tak sebanding, sementara negara-negara Eropa, Tiongkok dan India sudah menjadi “pemain” sekaligus penikmat rempah-rempah Nusantara itu.

Pala dan cengkeh merupakan dua komoditi awal yang memikat hati para penjelajah dunia yang hanya ditemukan di kepulauan Maluku.

Pala dan bunga pala menjadi penambah rasa bir. Kemewahan Eropa yang menghiasi pesta-pesta di istana raja dan orang-orang kaya. Daya tarik ini pada abad ke-18 diikuti kayu manis, kopi, teh, lada, vanila, sereh, jahe, kapulaga dan ratusan varian tumbuhan rempah lainnya hingga memasuki abad ke-20.

Jika ditilik dari sisi sejarah, Amerika bisa sebesar saat ini karena niat awal bangsa Eropa ingin menemukan pusat rempah. Kata spice sendiri akhirnya tidak sekedar bumbu penyedap tetapi sebuah sensasi yang penuh gaung masa lalu, sarat dengan kekayaan cita rasa dan konsekuensi di luar nalar (Lihat, Jack Turner, Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme, Komunitas Bambu, 2011, h. xviii). Ia menerobos dapur penghuni pulau-pulau kecil di Timur lalu menempati kasur istana raja-raja di Barat.

Kebutuhan akan rempah-rempah bukan diawali dari Eropa. Orang Mesir kuno jauh sebelum itu membutuhkan rempah-rempah sebagai zat pengawet dan perasa. Mereka mengimpor jinten, kayu manis dan kayu cendana untuk membalsem jasad-jasad firaun mereka. Sementara para apoteker dari Perjanjian Lama menumbuk rempah-rempah untuk salep bagi kuil-kuil mereka.

Bangsa Romawi menggunakan pala dan biji adas manis untuk mengawetkan daging dan membumbui anggur mereka. Tetapi jauh sebelum itu, sejak abad ke-7 (abad ke-1 Hijriah), aromatika Nusantara seperti kapur barus, kemenyan, kulit lawang (masohi) dan gaharu telah menyeruak kawasan suci Ka’bah di Makkah.

Agama-agama samawi tidak menganggap rempah-rempah sebagai heresy ( bid’ah) melainkan salvasi. Nabi Muhammad S.a.w sendiri bersabda : “Ada tiga hal yang kucintai dari dunia kalian; wewangian, wanita dan hatiku adem saat shalat” (HR. Anas bin Malik).

Wajar jika beberapa epitaph di pemakaman muslim di Gujarat, Aceh dan Maluku terdapat pahatan pohon, buah, bunga dan dedaunan rempah. Hingga kini, umat Islam di Nusantara masih menggunakan wewangian rempah sebagai unsur penting penyelenggaraan jenazah.

Di Eropa, rempah-rempah disamping penyedap rasa, juga obat penawar sakit dan penambah keperkasaan seksual. Cengkeh disebut bisa menyembuhkan sakit telinga, lada melumpuhkan demam. Orang yang masuk angin disarankan untuk mencampur kapulaga, kayu manis dan pala, sebuah resep yang tak mampu dijangkau kecuali oleh orang kaya pada masa itu.

Pala oleh Andrew Borde, penulis Dyetary of Health, baik untuk mengobtai demam di kepala dan menyamankan pandangan dan otak. Pala adalah sebenarnya sebuah zat perangsang nafsu birahi yang kuat. Disebutkan Ratu Cleopatra menggunakan pala, bunga lawang dan jahe untuk menaklukkan peselingkuh Roma-nya.

Bahan-bahan semacam itu jarang gagal untuk menimbulkan efek kejantanannya,: karena sesendok penuh pala sebelum tidur bisa menyebabkan mimpi yang indah tanpa akhir, tapi: membuat pemakainya setengah mati, karena di pagi hari ia akan kesulitan mendamaikan “barang”-nya yang tak mau diajak kompromi (Giles Milton, Nathaniel’s Nutmeg, 1999, Penguin Books, h. 18-19).

Pada masa Chaucer, rempah-rempah seperti itu telah menjadi kemewahan yang langka. Dalam Canterbury Tales, Sir Topaz yang gagah berani berbicara tentang kerinduannya akan roti jahe, permen hitam dan bir rasa “notemuge” (pala).

Pada masa Shakespeare dituliskan, kurang lebih 20 tahun sebelum Inggris mendarat di pulau Run Banda Maluku, kemewahan seperti itu telah menjadi kemewahan yang umum. Sepanjang Abad Pertengahan, Venesia menguasai jalur rempah dengan tangan besi. Pala, cengkeh, lada dan kayu manis diangkut menyeberangi Asia ke pusat perdagangan besar Konstantinopel, tempat para pedagang Venesia membelinya dengan cepat dan mengapalkannya ke arah barat melintasi Mediterania (Milton, h. 20).

Dari sini rempah-rempah itu dijual, dengan harga yang telah dilambungkan kepada para pedagang dari Eropa utara. Saat Marcopolo berlayar ke Tiongkok pada 1271, monopoli Venesia atas rempah-rempah menjadi utuh, tapi tak seorang pun dari Barat pernah mengunjungi tempat rempah-rempah berasal. Marcopolo adalah orang pertama Eropa yang menggambarkan pohon cengkeh, “sebuah pohon kecil dengan daun-daun seperti salam”yang tumbuh di Tiongkok daratan. Padahal dia dan orang-orang Venesia tidak tahu, bahwa pohon tersebut hanya bisa ditemukan di sedikit pulau ( spice islands) di Nusantara (Milton, h. 21).

Di pulau Ternate dan pulau Tidore terdapat kesenian tradisional berupa Tarian Jin ( Salai Jin) yang sarat dengan nilai magis. Tarian ini adalah bentuk hipnoterapi, sebagai intrumen komunikasi mistik antara manusia dan jin di alam gaib. Misalnya meminta bantuan jin melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sulit dilakukan oleh manusia, antara lain mengobati penyakit salah seorang anggota keluarga yang tak kunjung sembuh. Di antara penari yang kerasukan jin asing ( trance) dapat berkomunikasi dengan bahasa asing, Inggris, Cina, Parsi, Arab dan lainnya.

Raja Salomo (Nabi Sulaiman a.s.) menggunakan teknik ini (memerintah jin) untuk melakukan penjelajahan ke semua tempat di muka bumi. Beliau dipercaya memiliki daya ismu al-adhzam, sehingga para tetua sering menasehati apabila hendak memetik tumbuhan herbal ( rorano), harus terlebih dahulu mengucapkan salam kepada putra Daud ini. Hubungan sejarah rempah yang panjang, khusus cengkeh sebelum Salomo dan Kristus, Turner menulis :

“….dimulai dari segenggam cengkeh yang ditemukan dalam sebuah wadah keramik yang terbakar di gurun pasir Suriah, dimana dulu di sebuah kota kecil di tepi sungai Efrat, seseorang bernama Puzurum harus kehilangan rumahnya yang terbakar hangus. …api yang menghancurkan rumahnya ternyata telah membakar lembaran tanah liat yang rapuh itu menjadi sekeras bila dibakar pada tempat pembakaran biasa. Oleh karena itu, lembaran tanah liat tersebut dapat terselematkan (oleh para arkeolog – pen) walau sudah beribu-ribu tahun lamanya. Kebetulan kedua adalah referensi dari salah satu lembaran tersebut kepada penguasa setempat yang dikenal dengan nama Raja Yadihk-Abu. Namanya menandakan waktu terjadinya kebakaran dan usia cengkeh, yaitu medio 1721 SM.” (Turner, h. xix).

Lebih lanjut Turner, in extenso

“Fakta terselamatkannya cengkih sudah cukup mengejutkan, namun yang lebih luarbiasa lagi adalah keanehan botani yang terkait dengannya. Sebelum masa modern, cengkih tumbuh di lima kepulauan kecil volkanik di daerah timur jauh yang sekarang menjadi kepulauan Indonesia, yang terbesar hanya selebar kurang dari sepuluh mil. Karena cengkih hanya tumbuh di Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan, kelima pulau ini menjadi populer pada abad ke-16, Maluku-nya fable pelaut dan fantasi saudagar, serta harta yang diperebutkan kerajaan-kerajaan yang terpisah setengah perjalanan dunia.

Cervantes bahkan menggunakan persaingan Ternate dan Tidore sebagai latar eksotis yang sesuai untuk novelnya The History of Ruis Diaz, and Quixaire, Princess of the Moluccas. Namun sebagaimana menakjubkannya Maluku dalam literatur abad ke-16, di era Puzurum, pulau tersebut tidak memiliki eksistensi di alam khayal sekalipun.

Saat itu adalah masa dimana orang Mesopotamia menuliskan narasi yang seragam mengenai sang pahlawan Gilgamesh, ketika orang-orang primitif Humbaba mendiami hutan sidar di Libanon dan ketika jin serta makhluk setengah-singa setengah-manusia menjelajahi bumi. Namun, berabad-abad sebelum ditemukannya kompas, peta dan besi, ketika dunia masih merupakan tempat yang jauh lebih luas dan tidak terbayangkan daripada sekarang, cengkih dapat berpindah dari Maluku ke gurun pasir kering di Suriah. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan siapa yang membawanya, hanya Tuhan yang tahu.” (Turner, h. xx).

Kesadaran akan pentingnya menggali kekayaan tumbuhan rempah-rempah Nusantara kini mulai tumbuh. Dengan adanya pandemi Covid-19, kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi racikan rempah-rempah yang digali dari kekayaan alam Nusantara mulai menggeliat. Awalnya dimulai dari Presiden Jokowi yang menyatakan meminum ramuan rempah-rempah tradisional ( rorano) yang diracik sendiri menambah daya tahan tubuh. Sebab, rempah-rempah memiliki khasiat antioksidan yang tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan.

Dalam kerangka itulah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas lewat Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan menggagas konsep pengembangan Desa Rempah dalam gagasan Revitalisasi Jalur Rempah Indonesia dengan 7 (tujuh) perspektif.

1) Pembangunan ekonomi nasional dan regional ( economic development)
2) Pengembangan wilayah ( regional development)
3) Pengembangan SDM ( human development)
4) Revitalisasi sejarah dan nilai-nilai kebudayaan ( socio-cultural and history revitalization)
5) Konektivitas antar-wilayah ( regional connectivity; maritime economic belt based on small islands and coastal cities).
6) Pelestarian lingkungan hidup ( disaster resilience and climate change); dan
7) Politik internasional ( spice diplomacy).

Semoga gagasan (baru) ini memacu semangat revivalisme rempah-rempah ( spice-spirit) bangsa Indonesia. Inovasi kreatif ini juga menjadi upaya penemuan kembali ( be returned) elan vital peradaban Nusantara yang telah terkubur lama itu. Mari kita menyelami kandungan sola Scriptura (ayat-ayat qawliyah) di bulan penuh rahmat ini seraya menghirup aromatika khazanah sola Gracia (ayat-ayat kawniyah) berupa rempah-rempah khas Nusantara yang terhampar di sepanjang gugus katulistiwa.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1441 H.

Ciputat, 8 Mei 2020.

Penulis: Ketua Bidang Agama dan Ideologi Majelis Nasional Kahmi 2017-2022.

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button