Ferry, Abang Ganteng Yang Mempesona
Oleh: Fathorrahman Fadli
Jika ingin mencari pemimpin HMI yang paling ganteng nan mempesona, pastilah saya memilih Bang Ferry Mursyidan Baldan. Dari jarak jauh, dia itu terlihat keren. Perawakannya yang tinggi, tubuhnya yang atletis, dengan balutan senyumnya kala jumpa, pastilah bikin wanita terpesona. Laki-laki saja terasa senang ketika jumpa, apalagi wanita. Anda bisa bayangkan ketika Bang Ferry berusia 25 tahunan, ketika sedang memimpin HMI 1990-1992, hmm betapa gagahnya ia.
Paras mukanya sungguh menawan, dengan mengenakan kacamata model persegi menambah anggun suami Ir. Hanifah Husein ini. Kacamata itu juga jelas membuatnya terasa intelektual. Apalagi ia seorang pemimpin kaum intelektual yang berjuluk HMI =Himpunan Mahasiswa Islam.
HMI itu bukan organisasi biasa, sebab ia sejak awal tumbuh dalam kebhinekaan. Tumbuh dari spirit Islam yang sangat toleran. Untuk itu jangan mengajari anak-anak HMI bertoleransi. Sebab sikap toleran itu adalah inheren dalam diri mereka. Jangan lagi bicara soal perbedaan mazhab atau fiqiyah; sebab perbedaan ranting-ranting itu sudah dianggap selesai.
Dalam tubuh HMI tumbuh sejumlah aliran pemikiran Islam dari kiri ke kanan. Mulai penganut Sunni hingga Syiah. Mulai penggila Karl Marx, Lenin, Nietzhe, Huntington, Mao hingga Deng Xiaoping. Mulai penggila Abul A’la Al Maududi, Sayyed Hossein Nasser, Muhammad Iqbal, Jamaludin Al Afghani, hingga Hassan Hanafi. Mulai pengagum Ayatoellah Ali Khumaini hingga Hassan Nasrullah pemimpin di Lebanon sana.
Dari titik ekstrim politik yang satu ke titik ekstrim yang lain. Jadi HMI mampu memelihara tumbuhnya perbedaan guna memicu perbincangan (discourse) dan spirit berkompetisi yang sehat. Itulah hakikat dari Himpunan Mahasiswa Islam. Jadi Ferry Mursyidan Baldan itu adalah pemimpin kaum Himpunan itu. Apa tidak hebat?
Senyum sebagai Jurus Persatuan
Ferry sebagai pemimpin Kaum Himpunan tentu saja menyadari akan realitas kemajemukan aneka rupa itu. Tentu saja hal itu bukan pekerjaan gampang untuk membawa organisasi besar HMI dimana banyak sekali kalangan eksternal berkepentingan untuk mengganggunya.
Faktor pengganggu itu bisa muncul dari dalam organisasi sebagai konsekuensi logis dari “Limbah Kompetisi” selama kongres dan juga dari faktor eksternal organisasi, mulai pemerintah Orde Baru, Tentara, maupun persinggungannya dengan ormas-ormas Islam yang lain. HMI dalam derajat tertentu mampu menghela sejumlah tantangan yang dihadapinya. Termasuk yang dihadapi Ferry secara pribadi yang sempat dipecat keanggotannya dari HMI karena ada “Nation Call” dari negara untuk menjadi Anggota MPR dari utusan pemuda. Namun sejarah HMI mampu menjernihkan kasus itu, kemudian nama Ferry pun direhabilitasi dalam sebuah Kongres HMI berikutnya.
Soal kepemimpinannya di HMI, Ferry menerobos tradisi bahwa Ketua Umum PB HMI biasanya berasal dari pengurus PB HMI yang ada. Namun berkat kegigihan rekan-rekannya seperti Berliana Karta Kusumah, Medrial Alamsyah cs mampu membawa Ferry yang hanya Ketua Badko Jabagbar (Kini Jabar) menjadi Ketua Umum PB HMI. Dialah pemecah rekor utama soal itu.
Sebagai sosok yang harus memimpin jamaah HMI yang beraneka rupa itu, nampaknya Ferry memiliki jurus ampuh yakni Senyumannya yang khas. Senyum itu ternyata tumbuh berkembang sebagai alat pemersatu; juga alat untuk memecahkan masalah-masalah pelik yang dihadapi HMI saat itu.
Senyum itu pula sangat bermanfaat bagi Ferry dalam membangun dinamika dan persahabatan sesama kader HMI maupun dengan non kader HMI.
HMI dimasa kepemimpinan Ferry mampu membangun persahabatan dikalangan pemuda tidak saja Islam, namun juga lintas agama dan lintas gerakan. Sebagaimana pengakuan banyak aktifis gerakan Islam, sebut saja Din Syamsuddin, pria itu mengingatkan kita bahwa Ferry memiliki kemampunan kepemimpinan yang baik. Tidak saja bagi umat, namun juga bagi bangsa kita yang majemuk.
Selaku pemimpin Ferry tentu layak diteladani. Ia lebih mendahulukan orang banyak daripada dirinya sendiri. Ferry memilih tinggal di rumah yang berlokasi di dalam gang dan bukan di rumah mewah. Rumah itu bekas peninggalan orangtuanya sejak ia kecil yang kemudian ia beli dari keluarga besarnya. Ia merasa lebih nyaman di
rumah yang mungil itu. Untuk mengusir rasa bosan, setiap tahun desain rumahnya dia perbaiki sesuai seleranya. “Tiap tahun Kang Ferry mengubah tata letak dan gambar-gambar didinding ini, katanya agar tidak membosankan, sebab rumah kami kecil,” tutur Hanifah suatu saat.
Ferry pandai menahan diri dari bujukan kemewahan itu. Padahal jika ia mau, dia bisa tinggal di rumah mewah. Rumah jabatannya pun sebagai menteri tidak dia tempati. Hanya untuk kepentingan ada acara bersama atau menerima tamu-tamunya ia gunakan rumah itu. Ferry nampaknya menyadari sepenuhnya bahwa rumah jabatan itu bukanlah selamanya. Jadi ia gunakan seperlunya saja.
Kelakarnya yang Segar
Manakala saya jumpa Bang Ferry biasanya saya selalu senang melihatnya. Setelah berjabatan tangan biasa dia mulai berkelakar. Misalnya saat sama-sama menghadiri pesta pernikahan putri Profesor Bahtiar Effendy (Dekan FISIP UIN Jakarta) saya goda baju batiknya. “Ini batik Madura ya Bang, wah bagus ya kalau Abang yang pakai.”
“Kok tahu sampeyan. Tapi begini, batik Madura itu akan bagus kalau dipakai oleh orang diluar Madura,” tukas orang ganteng itu.
“Lha …kalau dipakai orang Madura?
“Ya kurang bagus hehehe..” cetusnya yang disambut tawa lepas.
Berdasarkan informasi yang terhimpun melalui teman-teman dekatnya, almarhum memiliki selera humor yang tinggi.
Durian Montong hingga Hymne HMI
Dalam sebuah kesempatan senggang saya bersama Nur Iswan, pengusaha dan youtuber itu, meluncur ke rumah Ipoel (Moh. Bahri) anggota DPRD Banten dari Gerindra di Islamic Village. Kira-kira 30 menit dari tempat saya tinggal. Sesampai dirumah ternyata sudah ada Budayawan HMI Bang Sem Haesyi dan wartawan senior Bang Acil. Dihalaman rumah Ipoel sedang bercakap mereka. Bang Sem seperti biasa selalu seru. Kedatangan kami tentu semakin membuat gairah suasana diskusi soal aneka rupa. Kuat kesan saya Bang Sem itu memiliki wawasan dan pengalaman jurnalistik yang luas. Juga memiliki karakter yang khas. Yang penting pula ia ceplas ceplos, mirip telor dadar. Beliaulah yang banyak menemani Bang Ferry selama pensiun dari Menteri. Disamping Bang Sem, juga ada Bang Acil dan Bang Ade Adam Noeh. Ketiganya ibarat kwartet yang serasi. Diskusi seru itu berakhir, lalu kami Tuan rumah mengajak kami makan duren di perkebunan Sahara di Serang Banten. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai. Mentari masih menyisakan cahaya meski sudah diujung. Suasana semakin rame karena kami juga ditemani Jamilah dan Kak Kasmah. Masing-masing istri Ipoel dan Bang Acil. Kami pun makan duren rame-rame. Suasana makin bergairah setelah terdengar kabar bahwa Bang Ferry akan bergabung makan duren. Ia dikabarkan melaju sendiri kendaraannya. Ipoel dan Jamilah sibuk pesan aneka durian mulai durian lokal hingga montong. Kami juga pesan durian yang supermahal waktu itu. Pendek kata sore itu memang menyenangkan sekali. Bang Ferry pun datang meramaikan suasana. Dasar kader HMI kalau sudah kumpul pasti diselingi diskusi serius. Waktu itu kami berdebat soal Hymne HMI yang ada dua versi. Apakah turut Quran dan Hadist atau turut Al-Quran dan Hadist; sebagai jalan keselamatan bagi HMI.
Diskusi seru saya stop, dan saya lemparkan topik perdebatan itu pada Bang Ferry yang sedang asyik makan durian.
Sebaiknya kita tanya Ketua Umum PB HMI. Bagaimana soal hymne itu Bang? Mana yang benar? Sekejab kemudian orang ganteng itu menjawabnya dengan moderat. “Memang ada dua versi. Ada yang pakai Al-Quran, ada juga yang Quran saja. Waktu saya jadi Ketua Umum PB HMI dua versi itu sudah ada,” jelasnya seraya menyeruput teh manis panas warung Sahara. Itulah rupanya pertemuan terakhir saya dengan Bang Ferry yang ganteng nan menawan itu.