Forhati: Ketahanan Keluarga Pilar untuk Ketahanan Bangsa
ADARA TIMUR – Forum Alumni HMI Wati (FORHATI) telah berusia 23 tahun. Syukuran hari kelahiran organisasi perempuan alumni HMI itu digelar secara sederhana dengan seremoni. Juga dirangkaikan dengan Webinar bertema Mengokohkan Ketahanan Keluarga Melalui Cerdas Digital.
Organisasi perempuan alumni HMI ini berdiri pada 12 Desember 1998. Namun puncak acara Milad ke-23 dilakukan pada Senin siang 13 Desember 2021 di Kantor KAHMI Jalan Turi Jakarta Selatan.
Hadir dalam acara seremoni syukuran antara lain Koordinator Presidium MN FORHATI Hj Hanifah Husein, Sekjen Korps Alumni HMI (KAHMI) Drs Manimbang Kahariady, dan tokoh budayawan Syamsuddin Ch Haesy.
Koordinator Presidium MN KAHMI A Riza Patria memberikan sambutan dari jarak jauh atau secara daring.
Hadir secara langsung pengurus majelis nasional FORHATI seperti Jamila Abdul Gani, Gefarina Johan, Farida Sihite, Kasmawati Kasim, Wahidah Laomo, Faizaah. Juga hadir senior Kohati seperti Lies Efendy, Kamsani, Uchi Alamcy, Nining, dan Ketua Umum Kohati PB HMI.
Hj Hanifah Husein dalam pidato syukuran Milad ke-23 mengatakan, 23 tahun lalu FORHATI didirikan sebagai ajang untuk senantiasa mengasah kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial budaya.
Kecerdasan yang menunjukkan eksistensi insaniah seluruh anggotanya sebagai ahsanit takwin, sebaik-baik makhluk, yang oleh Allah SWT diberikan nalar, naluri, nurani, rasa dan dria. Sebagai sebaik-baik perempuan khairun nisa.
“Di organisasi ini, kita mengembangkan potensi diri sebagai insan cendikia yang senantiasa harus kreatif dan inovatif, dalam mengabdikan diri kepada keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Insan yang berakal budi, dilandasi keutamaan nilai-nilai Islam, dilandasi, kedalaman aqidah, kejelasan syari’ah, kemanfaatan muamalah, dan kemuliaan akhlak karimah,” kata Hanifah Husein.
FORHATI tidak dapat berpangku tangan, apalagi membiarkan bangsa ini melenceng, keluar dari garis lurus cita-cita perjuangan, terwujudnya suatu negara bangsa yang berdaulat secara politik mandiri secara ekonomi dan unggul dalam peradaban, baldatun tayyibatun warabbun gafuur.
“FORHATI dalam perjalanannya telah memilih jalan turun tangan dan ambil bagian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat negara dan bangsa yang memungkinkan kemuliaan umat atau rakyat didahulukan serta keadilan dan kemakmuran rakyat diutamakan,” katanya
Sejalan dengan sikap itulah, kata Hanifah, para anggota, pengurus, dan pimpinan FORHATI nasional, wilayah, dan daerah di seluruh penjuru tanah air bersama sama dengan elemen dan komponen bangsa lainnya secara progresif memainkan peran dan fungsi yang utama menguatkan Ketahanan bangsa ini di tengah pusaran arus perubahan zaman.
“Dalam konteks itulah FORHATI memandang penting dan utama ketahanan keluarga menjadi tema sesuai dengan prinsip perempuan adalah tiang negara dan keluarga adalah pilar utama bangsa,” katanya.
Dikatakan, ketahanan keluarga dipilih sebagai tema umum FORHATI periode ini adalah menjadi perhatian utama kiprah perjuangan FORHATI, karena Allah Subhanahuwata’ala seperti firmannya pada surah Attahrim ayat 6 mewajibkan seluruh insan beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari neraka.
Seperti diketahui berbagai pemikiran dan aksi yang telah dilakukan secara serempak dan serentak bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan negara yang imbasnya mempengaruhi ketahanan keluarga.
Tidak hanya dengan cara-cara yang biasa yang mudah dikenali, melainkan dengan cara cara yang canggih dan sistematik termasuk dengan cara-cara akademik melalui proses penetratif hipodermis, menggunakan kemajuan sains dan teknologi, mempengaruhi kebijakan negara, baik kebijakan politik, sosial ekonomi, dan budaya.
“Di bidang politik dan ekonomi, sejak era 80-an berkembang aksi pilantropi politik yang membuat manusia terjerembap dalam kapitalisme global yang menyeret banyak negara dan bangsa, tidak berdaya menghadapi pragmatisme politik dan politik transaksional. Lalu menjadi mangsa oligarki dan oligopoli, yang bila dibiarkan, akan merampas seluruh potensi sumberdaya negara dan bangsa. Lalu membuat umat dan rakyat tersingkirkan dan terpinggirkan,” kata Hanifah Husein.
Di bidang sosial dan budaya, lanjut Hanifah, secara simultan dikembangkan berbagai pemikiran dan aksi yang menjauhkan umat manusia dari keyakinan, nilai, dan norma agama. Pemikiran dan aksi yang mengubah orientasi jangka hidup, yang membuat kita berjarak dengan Islam dan tradisi budaya bangsa sendiri.
“Pada saat bersamaan, secara intensif dan masif kita dengan aja kita dikondisikan oleh singularitas, kebergantungan yang sangat tinggi terhadap gadget, yang membuat hidup kita dekat dengan yang jauh, dan jauh dengan yang dekat,,” katanya.
Kita juga dihadapkan oleh pusaran arus besar kesenjangan, yaitu kesenjangan antara skill di satu sisi dengan kearifan dan tradisi di sisi lain. Termasuk eksplorasi friksi dan konflik sosial di seluruh aspek kehidupan. Antara lain dalam kehidupan sehari-hari mengemuka pemikiran dan aksi mempertentangkan Pancasila dengan Islam, keragaman dengan persatuan, hoax dengan fakta, dusta dengan kejujuran, bahkan kita dihadapkan oleh pemikiran dan aksi yang melemahkan adab dan keadaban, yang menjauhkan kita dari agama sebagai landasan utama mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.
“Kita dihadapkan oleh fakta, bagaimana korupsi dan ruswah terus merajalela di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Pada waktu yang bersamaan, arus perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT – pornografi dan pornoaksi, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, dan gizi buruk atau stunting menghadang anak cucu kita,” beber istri mantan Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan ini.
Kita juga dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit, menjalar dan menyebarnya gaya hidup berutang dan riba, yang terus menerus diproduksi oleh mesin kapitalis, seraya melemahkan akses umat terhadap modal.
Kesemua itu, membangkitkan kesadaran kita untuk secara antusias menguatkan Ketahanan keluarga dengan cara cerdas dan sesuai dengan tuntunan agama. Membangun benteng yang kokoh di tengah zaman yang gamang, dipenuhi ketidakjelasan, kompleksitas, dan keterbelahan.
Sebagai insan cita yang tengah dan konsekwen mewujudkan komitmen syukur, ikhlas, menjunjung tinggi syiar Islam, turut Alqur’an dan Hadis, jalan keselamatan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kita tidak akan berdiam diri.
“Sebagai kaum cendikiawan, kita tak boleh lelah dan bosan menguasai dan memanusiawikan sains dan teknologi, memberi dan meluaskan manfaat. Kita harus menempa diri kita dengan spirit kebangsaan, keislaman dan keilmuan, melayari transhumanisme yang sedang bergerak ke arah digital,” ujarnya. (lms/tilik.id)