Ketika Ideologi Pancasila Ditinggalkan
Oleh: Fathor Rahman Fadli
Sungguh kita harus bersyukur sebesar-besarnya kepada Allah Swt, karena kita sebagai bangsa telah dianugerahi Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa Indonesia. Sejatinya sebagai suatu negara, kita layak menjadi bangsa yang berdaulat, makmur dan sejahtera. Namun sebagai bangsa pula kita telah lama meninggalkan Pancasila dalam kehidupan kebangsaan kita.
Jika kita simak dengan seksama perjalanan demokrasi di Indonesia sungguh pun ada kemajuan, namun saya mencatat, perjalanannya tidak selamanya sejalan dengan ideologi negara kita, Pancasila. Pancasila dalam praktiknya seringkali dipaksa hanya sebagai pemanis kekuasaan belaka. Tak jarang juga kita temukan, Pancasila hanya terhenti sebagai alat kekuasaan semata. Disinilah justru Pancasila kehilangan elan vitalnya sebagai ideologi nasional yang seharusnya menjiwai setiap aparatur negara dalam melaksanakan dan mengemban amanah rakyat. Pancasila seharusnya menjadi sumber nilai utama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara teoritis, kita bisa mengatakan bahwa Pancasila secara tegas tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan difungsikan sebagai pedoman dasar dalam berbangsa dan bernegara. Selama kurang lebih 75 tahun, upaya membumikan Pancasila sebagai nilai-nilai demokrasi masih jauh panggang dari api. Masih membituhkan perjuangan panjang agar seluruh warga bangsa, terlebih elite pokitik di negeri kaya raya ini menyadari sepenuhnya eksistensi dan hakikat Pancasila dalam mengawal politik bangsa kita.
Pancasila sebagai filsafah negara, memiliki sifat terbuka. Hal ini mengandung makna bahwa ruang penafsiran atas Pancasila dapat menjadi beragam dan dinamis. Pancasila bisa dipahami sebagai hasil atas diskursus para tokoh pendiri bangsa dalam ruang sejarah yang ideal. Namin demikian, kuatnya dominasi kekuasaan negara sering mengebiri munculnya perbincangan dalam menafsirkan Pancasila itu sendiri.
Oleh sebab itu maka tak jarang kita temukan Pancasila mengalami dis-orientasi dalam pelaksanaannya di lapangan. Walhasil, Pancasila kerapkali diselewengkan oleh kekuasaan tertentu demi melegitimasi kekuasaan mereka. Disini muncul penyelewengan atas nilai-nilai dasar dari Pancasila itu sendiri.
Padahal Pancasila tersebut adalah kristalisasi dari perdebatan yang panjang, olah pikir yang mendalam, dan rumusan yang sangat ideal. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu ideologi negara merupakan ideologi yang sangat ideal dan merupakan kebutuhan semua bangsa di dunia. Pancasila memenuhi tiga prasyarat dasar sebagai ideologi yang ideal yaitu aspek idealitas bangsa, aspek realitas, dan aspek fleksibilitas.
Pancasila merupakan model kompromi dari para pemikir pendiri bangsa sebagai landasan pembentukan pemerintahan Indonesia. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan big picture tentang arah kehidupan masyarakat Indonesia masa depan. Jika kita insyafi benar, maka Pancasila sebenarnya membawa harapan dan tujuan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Desakan Globalisasi
Gelombang globalisme yang dibawa negara Barat sedikit banyak memaksa Pancasila bersinggungan dengan pemikiran demokrasi yang bergerak masif hingga ke negeri kita. Transformasi global tersebut terjadi membawa banyak hal, salah satu diantaranya adalah sistem demokrasi.
Demokrasi Barat telah membawa nilai-nilai kebebasan individu dan kesetaraan. Di negeri ini, proses demokratisasi ditandai dengan era reformasi yang memaksa kekuasaan Soeharto tumbang atas desakan rakyat yang menginginkan kebebasan. Fenomena tersebut ditandai dengan transisi kekuasaan Soeharto yang otoriter menjadi kehidupan politik yang lebih demokratis.
Demokrasi memang membawa angin kebebasan individu dan kesetaraan, namun demikian demojrasi liberal tentu tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai dasar dan substantif dari Pancasila. Demojrasi misalnya menghamba pada kebenaran kualitatif, sedang Pancasila mengacu pada kebenaran kualitatif. Demokrasi membenarkan kebenaran kepada siapa yang paling banyak meraih suara, sedang kebenaran Pancasila mengacu pada seberapa besar kemaslahatan bersama yang bisa diraih. Demojrasi tidak peduli pada kualitas pemilih dan yang dipilih, sedang Pancasila menghendaki kualitas pribadi pemilih yang bertumpu pada pengalaman, kematangan, jam terbang dalam masyarakat dan seberapa besar manfaat yang diberikan pada masyarakat.
Perbedaan prinsipil antara demokrasi liberal dengan demokrasi Pancasila itu pada faktanya telah membawa bangsa Indonesia pada kebodohan baru, yaitu memilih demokrasi liberal yang jauh dari nilai-nilai luhur budaya bangsanya; Pancasila.
Pancasila mengedepankan aspek keadilan dan persatuan. Selain itu, praktik masyarakat yang lebih mengutamakan kebersamaan dan kerja sama, terlihat tidak kompatibel dengan nilai-nilai liberal pada demokrasi.
Masalah kemudian muncul karena wacana demokrasi Liberal Barat mendukung pandangan yang menekankan bahwa setiap orang berhak atas pencapaian personal dan persaingan bebas yang memungkinkan semua orang bermain dalam level dan aturan yang berlaku bagi semuanya. Pandangan ini menyulitkan penerapan nilai demokrasi Pancasila untuk di Indonesia. Oleh karena itu, maka Pancasila dalam demokrasi liberal sama sekali tidak menunjukkan kompatibilitas yang serasi, namun faktanya telah melahirkan pertentangan ideologis tersendiri. Hal ini yang kemudian memacu bangsa ini pada kehidupan bangsa yang terpecah belah tidak karuan.
*
Pancasila dan Daulat Rakyat
Rasanya, kedaulatan rakyat yang diimpikan oleh seluruh bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini diakibatkan karena sila keempat Pancasila tidak dilaksanakan secara konsekuen. Kondisi ini dikarenakan pelaksanaan praktik penyelenggaraan negara selalu menjauh dari nilai-nilai dasar yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh khikmad kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan.
Sila ini menjelaskan tentang sistem presidensil, kriteria bijaksana dalam memimpin, serta sistem musyawarah-mufakat. Mekanisme musyawarah-mufakat yang ditafsirkan melalui sila ke-4 memberi makna bahwa para wakil rakyat dan badan perwakilan dipilih untuk memperjuangkan mandatori dari rakyat. Dengan kata lain, mereka adalah perpanjangan tangan rakyat. Hal ini menegaskan pandangan bahwa sebenarnya demokrasi di Indonesia haruslah dijalankan melalui suatu mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilandasi oleh semangat musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pemilu menjadi prasyarat prosedural minimum yang harus dijalankan oleh negara demokrasi. Melalui demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih melalui Pemilu. Partisipasi rakyat dalam formulasi hingga evaluasi kebijakan harus diikutsertakan untuk mendorong implementasi demokrasi.
Mekanisme musyawarah-mufakat dalam sila ke-4 diperuntukkan untuk memperindah sistem demokrasi. Maksudnya, besarnya toleransi yang tercermin lewat musyawarah-mufakat dijaga untuk menghadapi tantangan zaman dan kemajuan teknologi.
Musyawarah-mufakat adalah pola yang selalu digunakan di setiap kegiatan masyarakat dan negara. Nilai ini dianggap menumbuhkan kekuatan bangsa Indoneisa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun sayangnya, nilai-nilai musyawarah tersebut tidak nampak dilaksanakan dalam proses Pemilu. Walhasil, negeri ini kian menjauh dari nilai-nilai Pancasila.
Menjadi tugas kita bersama sebagai anak-anak bangsa untuk mencari model demokrasi yang tumbuh diatas nilai-nilai musyawarah untuk menemukan praktik keadilan agar tercipta aituasi dan kondisi.bangsa yang berdaulat, adil dan sejahtera lahir dan bathin. Semoga.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang dan alumnus HMI