HeadlinePodium

Sombong dan Maha Kuasa

Oleh: Fathorrahman Fadli*

Dalam hidup ini, tanpa terasa, kita semua mungkin sering mengambil alih posisi Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa. Dalam hadir kita, dalam cakap kita, dalam tingkah laku kita, mungkin juga dalam menjalani tugas-tugas kita. Tanpa terasa bahkan menduduki singgasana kehebatan dan kemahakuasaan Tuhan itu sendiri.

MANUSIA kadang suka melampaui batas. Padahal Tuhan sendiri sangat tidak suka pada orang-orang yang melampaui batas; juga sombong. Dalam firman-firman-Nya, Allah kerap kali menyebut, ” wala tamsi fil ardhi maraha ”….janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan sombong”.

Mengapa sombong itu Tuhan tidak suka? Saya tidak tahu persis jawabannya. Namun ada baiknya kita lihat apa akibat dari kesombongan itu sendiri, dari pada repot,-repot memahami alasan kenapa Tuhan tak suka pada orang sombong.

Pertama, jika kita melihat orang sombong, lihatlah wajah mereka dengan tatapan muka senyum. Pastilah dia akan melihat kita dengan muka yang masam, bukan? Pada saat dia sombong maka pasti muka dia nampak jelek sekali.

Itu pula yang rasanya alasan Tuhan tak suka pada orang sombong. Karena mukanya yang masam nan angkuh. Padahal Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Seperti dalam alquran, Allah menyebut demikian,” Laqod holaknal in sana fi ahsani takwin; Kemudian kami jadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. _Tsumma radadnaahu asfala shaafilin; kemudian Allah kembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya.”

Kedua, perangai orang sombong cenderung membawa berenergi negatif dalam pergaulan. Biasanya orang sombong sering membuat orang tidak betah. Sebab yang selalu dibicarakan orang sombong adalah sesuatu yang sifat kebendaan.

Misalnya jabatan, kekuasaan, lawan politik, mobil mewah, jalan-jalan keluar negeri, shopping, tas mewah, apartemen mahal, berlian, baju bagus, fashion, kosmetik baru, dan semua kawanannya itu.

Percayalah, ketika anda terlalu sering membicarakan hal-hal yang demikian dengan lawan bicara anda, suatu saat anda akan menjadi manusia yang sangat menjemukan.

Ketiga, manusia yang hidupnya dalam kesombongan biasanya tidak gemar menyapa dan bersikap ramah kepada orang lain. Apalagi pada mereka yang dianggap kelas sosial ekonominya lebih rendah.

Orang sombong melihat mereka tidak lebih penting daripada sampah. Walau ketika sadar, mereka tahu bahwa manusia yang ada di hadapannya itu adalah ciptaan Allah.

Jika kita tidak hati-hati sangat bisa jadi manusia yang kita anggap rendah itu adalah malaikat untuk datang kepada kita. Allah sengaja mengirim orang itu untuk menguji kita, Apakah kita itu hamba yang menghormati ciptaan Allah atau justru merendahkannya.

Hati-hati, ini bukan jebakan Batman, namun sangat mungkin ini adalah Malaikat utusan Allah.
Cukup tiga saja, pelajaran soal sombong itu. Dan, kita beralih pada yang Maha Kuasa.

Maha Kuasa
Kita juga tanpa terasa sering bertindak sebagai Yang Maha Kuasa. Kita kadang tidak manusiawi dalam menjalankan tugas-tugas kita dalam bekerja.

Kita lihat misalnya seorang Satuan Pengamanan (Satpam) di sebuah kantor.
Jamak kita lihat, perlakuan mereka terhadap tamu yang tampil necis, dengan tamu yang gembel, berbeda bukan? Juga pada orang-orang yang tampil tidak meyakinkan. Si Satpam ini pasti akan tampil lebih galak daripada anjing pelacak.

Begitu juga sering kita lihat kelakuan pejabat kecil dan rendahan sekantor-kantor pemerintah, dikantor-kantor swasta, di pabrik, di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di mal-mal, di pertokoan juga melakukan hal yang sama jeleknya. Mereka sering menjadi robot-robot yang mati.

Mengapa? Karena sistem kerja manusia didesain agar manusia pekerja itu tidak memakai akal dan nuraninya. Birokrasi dan aturan itu dicipta untuk memandulkan akal sehat dan ketajaman nurani.

Lagi-lagi ini perkara manajemen yang dikonstruksikan oleh orang-orang bermental kapitalistik yang hanya menjadikan manusia sebagai mesin bodoh penghasil duit. Manusia dianggap sebagai tools of industries.

Nampaknya dunia akan mengarah pada dehumanisasi jika mayoritas manusianya tidak kembali kepada jalan-jalan Tuhan.

Kita sebagai kaum beriman harus menjadikan jalan-jalan Tuhan itu sebagai jalan – jalan keabadian yang menyenangkan. Juga jalan lebar yang membahagiakan. Jalan-jalan yang membuat kita enjoy nan rileks.

Jalan yang membuat kita menemukan hakikat hubungan yang sejati dengan kehidupan itu sendiri. Terutama hubungan dengan sang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta alam raya. Pada detik kesadaran itu hidup kita akan menemukan periode yang betul-betul bening; Aku dan Tuhan-Ku.(*)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR dan Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button