Podium

Ketika Kebodohan Memimpin Kita

Oleh: Fathorrahman Fadli

“Jika kebodohan memimpin kita, segeralah keluar dan carilah kecerdasan dimanapun ia berada” (Mr.Ong, 05.18/23.04.20)

DALAM hidup ini, kita harus tetap kokoh bersahabat dengan kecerdasan dan kata hati. Sebab ia lebih jujur dari segalanya. Mengapa? Jika engkau mengisi hari-harimu bergelut dengan kebodohan, maka engkau akan jauh dari kemajuan.

Sebab kebodohan itu hanya melahirkan kemunduran dan keterbelakangan. Ongkos kebodohan itu pun sangatlah mahal, Kebodohan hanya akan menguras kantong kita tanpa kita tahu keuntungan yang diperoleh dari kebodohan itu sendiri.

Oleh karena itu, orangtua kita sejak kecil mendidik kita agar menjadi anak yang pintar nan cerdas. Sebab dengan kepintaran dan kecerdasan, hidup kita akan menjadi mudah nan terang benderang. Seterang matahari pagi yang lagi menyinari bumi.

Sedangkan kebodohan itu, laksana malam nan gelap yang dibarengi dengan hujan yang lebat, juga petir yang menyambar keras. Udara yang menggigilpun dating menusuk tulang.

Itulah dua permisalan pilihan hidup antara kebodohan dan kecerdasan. Kita tentu memiliki kebebasan memilih yang keduanya menanggung risiko.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita semua dituntut untuk bersahabat dengan kecerdasan. Kecerdasan haruslah memimpin kita sehari-hari agar ongkos hidup kita enjadi ringan, sedang sisa uang belanja keluarga bisa ditabung untuk hari hari yang akan datang.

Tabungan itu adalah penting agar kelak jika hidup itu tidak stabil, seperti yang sedang kita hadapi ini, maka uang tabungan itu dapat memantu keluarga menutupi kekurangan-kekurangan hidup yang sedang tidak menentu itu.

Sedemikian pentingnya kecerdasan itu, maka dalam memilih pemimpin pun kita sangat dianjrkan agar memilih pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas kecerdasan rata-rata masyarakatnya. Dan, bukan pemimpin yang bodoh yang taraf berfikirnya justru di bawah kecerdasan rata-rata masyarakatnya.

Pemimpin yang bodoh akan lebih cepat putus asa, kepala cepat suntuk, dan tidak memiliki pikiran cerdas untuk menerobos kebekuan-kebekuan dan masalah-masalah pelik yang dihadapi warganya. Kesadaran seperti ini haruslah menjadi kesadaran kolektif seluruh bangsa.

Pemimpin yang bodoh meminta ongkos sosial yang sangat tinggi. Kita mesti membiayai kebodohan pemimpin itu dengan berlapis-lapis perkara dan penderitaan.

Juga ongkos finansial yang membobol anggaran kita sebagai bangsa. Sebab mereka tidak lagi mengerti makna hakiki dari prinsip efektifitas dan prinsip efisiensi dalam kerja-kerja organisasi, sebagaimana layaknya korporasi. Pemimpin bodoh juag tidak mengerti makna skala prioritas, apalagi makna hakiki kemanusiaan itu sendiri.

Mari tengok negara-negara dunia ketiga yang hingga hari ini hidup sebagai bangsa yang terbelakang. Gross National Produk (GNP) bangsa mereka rendah, dan oleh karenanya kemiskinan menganga di seluruh pelosok negeri. Sebab kebodohan seorang pemimpin itu mustahil mampu melahirkan kreativitas bagi warganya.

Padahal kreativitas itu adalah prasyarat pokok suatu negeri meraih kemajuan. Kreativitas suatu bangsa akan memicu produktivitas bangsa itu sendiri. Sedang produktivitas bangsa adalah prasyarat kemajuan.

Carilah Kecerdasan
Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat kecerdasan seorang pemimpinnya. Pemimpin cerdas akan menuntun jalan bagi warganya untuk menuju pada kemajuan yang dikehendaki bersama seluruh rakyat.

Sebaliknya pemimpin bodoh akan menghabiskan waktu dan sumber daya serta membawa rakyatnya pada kehidupan yang penuh duka. Duka yang tidak jelas entah sampai kapan.

Pemimpin yang bodoh harus kita ingatkan agar dia tahu diri, angkat tangan dan dengan sadar menyerahkan kembali amanah itu kepada rakyatnya secara terbuka dan jantan.

Bukan justru menggenggamnya secara erat demi gengsi dan ketamakan kuasa yang merusak bangsanya. Sadar diri adalah penting karena masa depan bangsa dan nasib seluruh rakyat adalah taruhannya. Kita tidak bisa berjudi dalam masalah besar seperti itu.

Pemimpin bodoh hanya melahirkan kelucuan-kelucuan yang tidak memenuhi prasyarat untuk ditertawakan. Yang ada hanya kegetiran, rasa gemas, dan caci maki dibelakang panggung ketidakberdayaan.

Panggung tempat berlindung dari sikap keras kekuasaan yang tuli atas nasihat-nasihat dan kebenaran. Sebab hanya kekerasanlah yang mampu mempertahankan mereka dari singgasana kekuasaan itu.

Meski kekuasaan itu pada saat yang sama adalah sama dengan ketiadaannya. Ia sejatinya tidak berkuasa karena dihantui oleh ketakutan akan bayang-bayang kejatuhan itu sendiri.

Kejatuhan yang membuatnya terhina, karena amanah itu berubah menjadi laknat. Begitulah kira-kira lukisan bangsa-bangsa yang bernasib memiliki pemimpin bodoh. Oleh karena itu segeralah mencari kecerdasan dan pemimpin baru yang juga cerdas!!!.(*)

Penulis: (Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR dan Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang)

Selengkapnya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button